Aku, Batu & Kebebasan
![](https://static.wixstatic.com/media/88062d_a76bb2ed313c483c84d4de05dd9bdf3f~mv2_d_2040_1360_s_2.jpg/v1/fill/w_980,h_653,al_c,q_85,usm_0.66_1.00_0.01,enc_auto/88062d_a76bb2ed313c483c84d4de05dd9bdf3f~mv2_d_2040_1360_s_2.jpg)
"Tulisan ini bertolak dari kegelisahan belasan tahun (saat ini saya berumur 18tahun) mengenai, siapa atau apa ‘aku’? Dan apa yang harus ‘aku’ lakukan atau bagaimana semestinya menjadi seorang 'aku' ?"
Pertanyaan mengenai siapa atau apa aku pada kenyataannya tidak hanya membuat saya binggung, tetapi juga berhasil membuat stress banyak filsuf selama berabad-abad, sebut saja Descartes dan Sartre. Menjadi menarik ketika pertanyaan paling mendasar yang kelihatannya sederhana, kemudian menjadi teka-teki yang sampai detik inipun masih menjadi misteri terbesar umat manusia.
Réne Descartes ialah seorang filsuf berkebangsaan Prancis (13 Maret 1596 – 11 Februari 1650) yang kemudian dikenal sebagai Bapak Sains Modern. Disebut sebagai bapak sains modern sebab beliau menyadari bahwa manusia memiliki keistimewaan tertentu, yaitu rasionalitas dan subjektifitas yang mana kesadaran akan kedua hal ini merupakan pintu dan landasan ilmu pengetahuan modern.
Filsuf lain yang sangat tertarik membahas persoalan dasar manusia (kesadaran dan pengenalan akan diri manusia itu sendiri) adalah Jean-Paul Sartre (21 Juni 1905 – 15 April 1980). Sama-sama berkebangsaan Prancis, namun memiliki perbedaan mendasar pada filsafat yang ditelaahnya. Sartre ialah seorang eksisntensialis tulen. Singkatnya, eksistensialisme adalah paham atau aliran yang berusaha mencari tahu dan menggali esensi dan eksistensi perihal alam semesta beserta segala isinya.
Saya sengaja memasukan kedua filsuf ini untuk melihat perbedaan-perbedaan baik dari waktu maupun gagasan-gagasannya, sehingga pembaca mempunyai pilihan yang lebih beragam dan lengkap perihal ke-aku-an. Descartes berasal dari akhir abad ke-16, sedangkan 4 abad setelah itu Sartre masih saja bergelut dalam pencarian ke-aku-an. Mengindikasikan hal fundamental seperti ini bukan merupakan hal yang sederhana untuk dielaborasi.
**
Masih jelas di ingatan ketika pertama kali saya menjalani aktivitas sebagai calon mahasiswa di salah satu kampus swasta di Jawa Tengah. Saya menggunakan kata "calon", sebab pada saat itu saya merupakan salah satu peserta yang mengikuti Orientasi Mahasiswa Baru (OMB), sehingga belum dapat dikategorikan secara resmi sebagai mahasiswa pada kampus tersebut. Waktu itu ada satu pertanyaan kecil dari anggota regu yang dilontarkan pada saya. Dan kira-kira pertanyaannya seperti ini: "Kamu itu siapa?". Pertanyaan tersebut selalu saya ingat, sebab biasanya seseorang yang baru bertemu selalu menggunakan pertanyaan, "nama kamu siapa", bukan "kamu siapa", oleh karenanya pada waktu itu saya hanya mampu menjawab sedapatnya, yaitu dengan menjelaskan nama dan asal saya.
Akan tetapi, beberapa minggu ini pertanyaan yang sama dan lebih dari satu tahun lalu secara tiba-tiba timbul dalam ingatan saya. Untungnya setelah berdiskusi dengan beberapa teman dan dosen, setidaknya pertanyaan itu bisa "sedikit" terjawab.
**
Kurang lebihnya seperti berikut ini..
Sebagai seorang filsuf, Rene Descartes sangat dikenal karena gagasan Cogito Ergo Sum yang apabila dialihbahasakan menjadi I Think Therefore I Am. Singkatnya Descartes mau bilang bahwa “aku adalah apa yang aku pikirkan. Aku merupakan buah dari gagasan-gagasanku selama aku hidup. Atau dengan kata lain, aku tidak akan ada, apabila aku tidak berpikir, karena pikiranlah yang meng-ada-kan-ku.”
Di satu kesempatan yang lain, Descartes memperluas gagasannya tersebut kedalam filsafat pikiran (philosophy of mind). Filsafatnya ini berusaha untuk menjelaskan hubungan antara mind dengan tubuh (body). Menurutnya, aku merupakan makhluk yang dibangun dari dua substansi nyata, yaitu mind yang bersifat immaterial dan body sebagai substansi material yang dapat dideteksi oleh pancaindera.
Dua substansi aku dapat melakukan fungsinya secara otonom, tetapi memiliki kaitan implikasi. Yang dimaksud sebagai otonom ialah, mind dapat bekerja sendiri tanpa intervensi body, dan begitupun sebaliknya. Sebagai contoh mind (bisa juga dikatakan sebagai jiwa) dapat dengan sendirinya memberikan gagasan-gagasan (menurut Descartes, mind dapat memenuhi dirinya sendiri), begitupun tubuh. Tubuh dapat mengontrol dirinya sendiri tanpa bantuan mind, seperti gerakan jantung memompa darah dan gerakan refleks menghindar ketika ada bagian tubuh kita yang terkena benda panas.
Walaupun otonomi, hubungan kedua substansi berdampak sebab-akibat (implikasi), karena pemuasan terhadap mind akan mempengaruhi body, dan sebaliknya. Misalnya ketika hari minggu, mind akan memerintahkan body agar pergi ke gereja. Karena mind berkehendak demikian, maka dengan langkah yang spesifik body akan bergerak mencapai tujuan atau perintah awal.
Kembali pada persoalan aku, Descartes memahami terlepas dari dual substansi yang ada, aku yang sebenarnya ialah mind itu sendiri. Seperti gagasan awal beliau, “Aku berpikir maka aku ada”. Yang apabila diungkapkan dengan kata yang lain, mind adalah kunci dari keberadaan aku atau aku adalah pikiranku sendiri.
Sehingga apabila muncul pertanyaan, “siapa kamu?”, maka saya bisa saja menjawab, “aku adalah akumulasi ide-ide yang aku ciptakan sendiri.”
Untuk mendukung gagasan Descartes, terdapat contoh sederhana yang saya bikin untuk mempermudah pengertian akan aku; saya sering mendengar dan bahkan secara sadar meperkatakan hal-hal seperti: ini tanganku, ini kakiku, ini mataku, dsb. Lalu pertanyaan yang muncul adalah, apabila tanganku merupakan kepemilikan aku, maka siapa sejatinya aku? Jawabnya, aku adalah pikiranku yang memikirkan tanganku.
**
Bertentangan dengan filsafat sebelumnya, Jean-Paul Sartre justru hadir dan membawa filsafat eksistensialismenya untuk mengkritik pemikiran Descartes yang terkesan angkuh. Keangkuhan Descartes yang dimaksud Sartre ialah anggapan bahwa aku hanya perlu memikirkan ideku untuk menjadikan aku.
Eksistensialisme Sartre menjadi menarik karena dari perspektifnya, eksistensiku mendahului esensiku. Esensiku hanya dapat dicapai apabila aku sadar akan KEBEBASAN yang aku miliki. Berbeda dengan batu misalnya. Batu tidak sadar akan eksistensinya, sehingga batu tak mampu menciptakan esensinya sendiri, sampai seorang pengrajin datang dan mengukirnya.
Eksistensi suatu batu pahatan ada mendahului esensinya. Sebelum ada batu pahatan, pengrajin atau pemahatnya telah mengetahui dengan benar akan jadi apa batu tersebut, dan apa guna pahatan yang akan jadi, entah sebagai hiasan atau sebagai barang seni bernilai tinggi. Sedangkan di sisi lain, aku merupakan nilai yang kuciptakan dengan bantuan sosial dan historis. Sosial karena aku tidak bisa menjadi aku apabila tiada pembanding dengan ke-aku-an lainnya. Historis karena esensi yang aku punya merupakan hasil dari perjalanan panjang sejarah menuju ketiadaan (sebagai anti-tesis dari ada).
Artinya, saya bisa mengatakan, "Aku adalah proses mengada. Aku adalah makhluk tak utuh yang sedang menjalani sintesis kehidupan. Aku ialah esensi yang aku ciptakan sendiri melalui interaksi dan perkembangan sejarah"
Singkatnya dapat dijelaskan melalui skema berikut:
ADA/BEING (tesis) ---- MENJADI/BECOMING (sinstesis) -----> TIADA/NOTHING (anti-tesis)
Skema seperti itu merupakan kerangka pemikiran dialektis, di mana menurut Sartre semua hal ada selalu memiliki pasangan yang bernilai kontradikdif, pria-wanita, jantan-betina, positif-negatif, dingin-panas, dll. Dari perbedaan itulah kemudian memunculkan titik temu yang dinamakan sinstesis.
Menyambung gagasan mengenai sintesis, aku yang saat ini merupakan sintesis dari keberadaanku dan ketiadaanku. Sehingga aku menjadi utuh ketika sampai pada titik ketiadaanku sendiri.
**
"AKU BUKAN BATU PAHATAN. AKU ADALAH BUAH DARI KEBEBASAN. YA, KEBEBASAN MEMANG MENUNTUT PERTANGGUNGJAWABAN.
BATU TIDAK MENENTUKAN ESENSINYA, SAMPAI AKU DATANG DAN MEMBERI ESENSI PADANYA.
KEBEBASAN IALAH HAKEKATKU. SELAGI AKU SADAR AKAN KEBEBASAN ITU, MAKA AKU BEBAS.
AKU BATU YANG BEBAS.."