“Indonesia Rising: The Repositioning of Asia's Third Giant”
![](https://static.wixstatic.com/media/88062d_f855f5d5abc14510900025024b868592~mv2.jpg/v1/fill/w_578,h_870,al_c,q_85,enc_auto/88062d_f855f5d5abc14510900025024b868592~mv2.jpg)
Secara singkat, tulisan ini merupakan suatu Critical Review terhadap buku Indonesia Rising: The Repositioning of Asia's Third Giant tulisan Antoni Reid (2012). Untuk itu maka penulis menjabarkan dalam dua bagian utama. Bagian pertama merupakan ringkasan dari buku yang ada dan bagian kedua ialah catatan kritis dalam rangka mengomentari isi buku.
![](https://static.wixstatic.com/media/88062d_596a2c055ac54d27a8b67a57f323c4e8~mv2.jpg/v1/fill/w_250,h_375,al_c,q_80,enc_auto/88062d_596a2c055ac54d27a8b67a57f323c4e8~mv2.jpg)
Keunggulan Baru Indonesia di Dunia
Di akhir abad ke-19 Indonesia sebagai “Macan Asia” mengalami banyak permasalah. Puncaknya saat keuangan Asia tahun 1998 yang menyebabkan Gross Domestic Product (GDP) Indonesia jatuh sampai 13 persen. Tetapi kabar baiknya adalah banyak pakar yang memprediksi Indonesia mempunyai kesempatan besar dalam rangka kembali menjadikan dirinya sebagai macan perekonomian di Asia. Bahkan Keating (2010) menyatakan Indonesia memiliki model yang tepat untuk menyokong pertumbuhan ekonomi, diantaranya inflasi yang relatif rendah, sedikit hutang (26% dari GDP), demografi yang dipenuhi usia produktif, dan GDP yang berasal dari 2/3 konsumsi domestik.
Alasan lain yang mendatangkan angin segar bagi Indonesia datang dari pertumbuhan ekonomi belakangan ini, yang diestimasikan akan tumbuh menjadi negara dengan ekonomi terbesar ketiga (setelah Cina dan India) pada tahun 2050, bahkan melampaui perekonomian Jepang saat ini. Karena apabila dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya seperi Vietnam dan Thailand, Indonesia diuntungkan oleh faktor demografi.[1]
Alasan optimisme lainnya bagi Indonesia guna penguatan ekonomi adalah konsumsi domestik. Walaupun kondisi politik yang dipenuhi korupsi dan berbagai kepentingan, demokrasi Indonesia telah berhasil menetapkan teladan dalam managemen makroekonomi dari pada banyak negara demokrasi yang kaya lainnya, dan tentu saja Indonesia diuntungkan dengan sedikitnya hutang (apabila dibandingkan dengan GDP).[2]
Dari berbagai keunggulan yang dimiliki Indonesia, tampaknya paling tidak ada dua hal yang menjadi fokus pemerintah. Pertama, Indonesia terlihat sedang mempersiapkan diri guna menjadi negara yang concern pada isu-isu lingkungan hidup sehingga diproyeksikan Indonesia bisa menjadi pemimpin dunia di bidang green politic. Kedua, sebagai negara Islam terbesar tetapi dengan sistem politik demokrasi (berbeda dengan negara-negara Arab), Indonesia berpotensi menjadi negara Islam paling moderat dan berpikiran terbuka (berdasarkan politik bebas dan aktif).
Indonesia Dalam Keseimbangan Dunia Baru
Di akhir abad 20 timbul empat kekuatan ekonomi dari negara-negara dengan jumlah populasi yang besar di Asia untuk pertama kalinya: Cina di akhir 1970an, Indonesia di pertengahan 1980an, India di awal 1990an, dan perekonomian ASEAN. Percepatan pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia kemudian mau tidak mau merubah peta kekuatan perekonomian dunia. Bahkan walaupun Asia sempat dihantam gelombang krisis finansial pada 1997 sampai 1998, tetapi secara bertahap keempat kekuatan Asia dapat memperbaiki dirinya di dekade pertama abad 21.
Sehingga Amerika Serikat yang sempat mendominasi perekonomian dunia, kini harus berbagi tempat dengan Cina, Uni Eropa, dan India. Fenomena ini sekaligus merombak wajah dunia yang sempat bersifat bipolar menjadi multipolar. Multipolar dunia memang merupakan keniscayaan yang tak bisa dihindari semenjak kejatuhan Uni Soviet di akhir perang dingin. Lalu bagaimana dengan posisi Indonesia? Terlepas dari predikat sebagai negara dengan populasi terbesar ke empat di dunia, Indonesia menempati peringkat ke delapan sebagai negara dengan perekonomian terbesar (World Bank, 2011). Indonesia bertumbuh lebih cepat secara berkelanjutan dibandingkan tujuh negara di atasnya. Keadaan demografi, simpanan dan investasi, dan kemampuan untuk berumbuh melalui institusi perekonomian dunia dan teknologi membuat Indonesia berpotensi mengalahkan Jepang dan Rusia.
Di lain sisi Indonesia juga merupakan negara dengan populasi terbesar di dunia yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Selain itu Indonesia yang memiliki perekonomian sangat luas diterima sebagai pemimpian atas regional Asia Tenggara, sehingga negara lain di Asia Tenggara dapat dimanfaatkan oleh Indonesia sebagai pasar yang menjanjikan. Adapun sebagai anggota G20, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk menggaet investor-investor asing dari negara-negara sesama anggota G20, seperti Inggris, Prancis, Rusia, Jerman, dan yang lainnya.
Indonesia penting dalam keseimbangan di tatanan dunia yang baru dilihat dari peran Indonesia yang besar dalam rangka membangun kestabilan regional. Kestabilan regional ini pada awalnya diimplementasikan Indonesia melalui pembentukan ASEAN pada 8 Agustus 1967 dan pengaruhnya dalam pembentukan APEC pada 1989. Keunikan kepemimpinan Indonesia terletak pada manuver politik internasional yang kurang lebih dicontoh dari budaya Jawa, Indonesia mengedepankan negosiasi dan diskusi kooperatif dari pada menunjukan kekuatan baik dari jumlah populasi maupun besarnya perekonomian.
Komitmen besar Indonesia untuk mengambil posisi strategis juga bisa dilihat dari Deklarasi Bogor yang mengintegrasikan pasar, tarif masuk, dan investasi di ASEAN, Australia, serta Pasifik Barat. Harapannya kerjasama yang dibangun dapat meningkatkan perekonomian kawasan dan menghindarkan kawasan dari kris seperti yang terjadi di tahun 1997 sampi 1998 silam.
Peran Indonesia dalam Perekonomian Dunia: Dipagari Beberapa Kendala
Saat ini posisi Indonesia di mata dunia seperti negara yang terombang-ambing diantara apakah harus optimis ataukah pesimis. Dikatakan optimis sebab Indonesia sering mengalami krisis tetapi mampu untuk terus bangkit, namun di sisi lain Indonesia juga pesimis dikarenakan tidak pernah mampumencapai puncak dari potensi yang dimiliki.
Hal yang sama terlihat dari kebijakan mengenai pasar Indonesia. Indonesia berkembang sebagai negara dengan konsep pasar terbuka, tetapi tidak benar-benar terbuka, Indonesia tidak serta merta menganggap globalisasi sebagai sesuatu yang menguntungkan. Hal ini bisa dilihat dari ketidakpercayaan Indonesia terhadap beberapa institusi internasional, seperi IMF dan World Bank, tetapi di pihak lain Indonesia secara aktif terlibat dalam G20 dan organisasi regional Asia Tenggara.
Sebelum berbicara mengenai peran Indonesia di dalam perekonomian dunia, Indonesia sempat mengalami perpindahan dari satu rezim ke rezim lainnya yang mana setiap rezim memiliki kebijakannya masing-masing mengenai perekonomian, walau kadangkala saling bertolak belakang.[3]
Dalam rangka menunjukan potensi Indonesia, paling tidak ada empat faktor yang mampu menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemegang peranan dalam perekonomian dunia, yaitu bonus demografi, kekayaan energi dan varietas komoditi, stabilitas makroekonomi, dan stabilitas kondisi perpolitikan.
Struktur demografi Indonesia sangat menguntungkan apabila dilihat dari jumlah usia produktif yang diperkirakan memuncak pada tahun 2025-2050, di mana populasi usia muda jauh lebih banyak dari usia tua, sehingga jumlah pekerja produktif dapat menutupi ketergantungan golongan tua (contohnya tunjangan hari tua dan pensiun dapat ditangani dari keuntungan produksi oleh golongan muda). Keuntungan lain dari bonus demografi adalah, anak muda cenderung konsumtif sehingga level komsumsi domestik akan terus menguat. Terakhir, akan terjadi peningkatan urbanisasi, sehingga rata-ratanya 50 persen penduduk Indonesia akan tinggal di kota. Fenomena ini tentunya berdampak pada percepatan investasi di bidang infrasruktur seperti listrik, telekomunikasi, kereta, dan jalan raya.
Tidak bisa dipungkiri Indonesia merupakan gudang energi dan komoditi-komoditi, hal ini menempatkan Indonesia pada posisi yang bagus untuk melayani permintaan dan kebutuhan domestik maupun internasional.
Dikarenakan penataan makroekonomi yang tepat, Indonesiabisa melewati krisis keuangan dunia pada 2007-209 tanpa terkena dampak yang signifikan, jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa. Selain itu hutang Indonesia juga diperkirakan turun 24 persen pada 2014.
Rezim politik saat ini sudah sangat stabil dan demokratis, lebih dari pada itu Indonesia juga sudah diperlengkapi dengan KPK sehingga perekonomian makro cenderung lebih stabil sehingga investasi-investasi asing mulai banyak berdatangan.
Walaupun Indonesia sudah diperlengkapi dengan keunggulan-keunggulan sebagaimana yang ditelah dijelaskan di awal, tetapi paling tidak ada dua kendala utama yang membuat Indonesia tampak cenderung tidak memaksimalkan keunggulannya, diantaranya kendala pasokan dan kepentingan politik domestik.
Kendala pasokan membuat Indonesia mengalami ketidakpastian dalam meraup keuntungan di psasar bebas. Keinginan kuat untuk memegang peranan ekonomi di dunia internasional atau paling tidak di regional terhalang masalah infastruktur yang kurang memadai, kurangnya sumber daya manusia, jenis produk yang monoton, dan kurangnya inovasi untuk menciptakan produk-produk baru.
Kendala kedua yang dialami Indonesia adalah kondisi perpolitikan domestik yang diwarnai berbagai kepentingan privat. Para politikus dan birokrasi cenderung mengejar status quo ketimbang kepentingan umum, dan apabila ada tokoh-tokoh yang mengkritik kinerja mereka, maka politikus dan birokrat tersebut bersikap membela diri ketimbang memperbaiki kinerja mereka.
Bangkitkah Indonesia?
Bangkit atau tidaknya Indonesia masih menuai banyak tanya, pasalnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cenderung positif tidak bisa serta merta menjadikan Indonesia masuk dalam kategori negara bermasa depan bagus di kancah internasional. Sebagai contoh di akhir tahun 2011 beberapa ekonom menempatkan Indonesia sebagai negara ke enam dengan pertumbuhan GDP tertinggi (dengan pertumbuhan GDP 6,5%) dari 43 negara dengan perekonomian terbesar, tetapi yang perlu diperhatikan juga, CIA misalnya menempatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di urutan ke 51 di antara negara-negara di dunia. Oleh karena itu untuk menyimpulkan kebangkitan Indonesia, maka harus dilihat dai berbagai aspek, diantaranya politik, militer, ekonomi, sosial, budaya, demografis, dan lingkungan di mana Indonesia berada.
Dari dalam negeri sendiri, usaha-usaha dalam rangka mencapai kesejahteraan nasional bisa ditelisik pada pemerintahan Yudhoyono, yang mana membagi kebijakannya menjadi 2 arah komplementer, yaitu secara kognif dan secara konseptual. Secara kognitif berarti, kekhawatiran terhadap masalah-masalah domestik memang penting, tetapi masalah-masalah luar negeri juga harus segera ditangani, karenamasalah luar negeri yang terlihat sederhana, bisa jadi membawa dampak besar bagi kepentingan nasional. Secara konseptual ialah, kebijakan luar negeri harus mendapat perhatian khusus karena berhubungan dengan citra Indonesia di ranah inernasional.
Untuk mendapatkan pandangan yang luas mengenai kebangkitan Indonesia, terdapat setidaknya lima spektrum, yaitu kepasifan, kereaktifan, proyektifitas, dorongan atau pengaruh, dan koersifitas.
Kategori pertama yang berhubungan dengan pelaksanaan politik luar negeri ialah kepasifan. Tingkat kepasifan negara diukur melalui kebijakan-kebijakan yang belum terlaksana dan akan dikerjakan.
Reaktif berarti lebih mampu mewujudkan inisiatif dari negara lain, ketimbang kebijakan dari negara sendiri.
Proyektif bisa diartikan sebagai sikap nyata menyebarluaskan gambaran baik negara sendiri guna menarik perhatian dunia interasional.
Perlikau sugestif ialah perilaku negara yang mendorong negara lain untuk menjalankan kemauan negara tersebut, tetapi dengan cara-cara tertentu agar negara lain tidak menyadarinya.
Yang terakhir adalah koersif, yaitu perilaku negara untuk mendapatkan kemauannya, dalam ini kebangkitan Indonesia dengan cara melakukan tekanan-tekanan terhadap negara lain, untuk mengikuti kemauan negara tersebut.
Politik Domestik dan Sikap Internasional: Hambatan dan Peluang
Bab ini bertujuan menjelaskan dinamika politik domestik Indonesia dan kaitannya dengan sikap Indonesia di dunia Internasional dalam rangka mewujudkan kepentingan politik domestik. Untuk itu pembahasannya akan dibagi menjadi 3 langkah, pertama kebijakan baru Indonesia dalam politik luar negeri, kedua aspek-aspek penting dalam politik domestik, dan yang ketiga strategi Indonesia di dalam Asia Timur.
Arah kebijakan luar negeri selalu berubah-ubah tergantung pada kepentingan dan pemimpin saat itu. Di era Soekarni arah kebijakan luar negeri Indonesia lebih mengarah pada nasonalisme dan anti imperialisme barat, sehingga acap kali Soekarno menantang keras dunia barat di dalam pidato-pidatonya. Setelah lengsernya Soekarno, kebijakan luar negeri Indonesia menekankan pada pentingnya berdamain dengan negara manapun, terutama dengan negara-negara tetangga, sehingga lingkungan regional menjadi lebih kondusif. Tetapi pasca Soeharto, di era reformasi kepentingan paling mendesak ialah mempertahankan kehormatan Indonesia di mata Internasional, karena Indonesia sempat dihantam berbagai masalah dan krisis. Salah satu permasalahan paling urgent ialah menjamurnya gerakan separatisme di wilayah NKRI, oleh karena itu kebijakan domestik yang diambil lebih kepada desentralisasi dan memberikan otonomi di setiap daerah. Jika di dalam politik domestik mengarah pada upaya-upaya desentralisasi kekuatan pusat, maka di ranah internasional Indonesia berupaya mempromosikan organinasi regional ke lingkup yang lebih luas, contohnya dengan ASEAN yang bekerja sama dengan beberapa negara di Asia Timur dan bahkan merambah ke kawasan Asia-Pasifik.
Manuver politik luar negeri Indonesia kemudian memunculkan 2 sisi berbeda, yaitu keuntungan dan hambatan terhadap politik domestik.
1. Demokrasi dan kebijakan luar negeri
Keuntungan dari demokratisasi ialah semakin luasnya kebebasan publik dalam mengekspresikan dukungan dan kritik terhadap pemerintahan yang sedang berjalan, halini dapat dilihat dari berkembangnya lembaga pers dan aktivis-aktivis LSM yang ikut serta mengawal jalannya pemerintahan. Tetapi di samping keuntungannya, sistem demokrasi menjadikan pengambilan kebijakan menjadi lebih ruit. Pertama, pemerintah akan menjadi lebih susah dalam mengambil suatu kebijakan dikarenakan terlalu banyak suara yang masuk, ditambah lagi Indonesia merupakan negara yang sangat plural dan heterogen. Kebijakan yang seharusnya diambil dalam waktu singat karena urgensinya, menjadi lambat akibat proses demokrasi yang memakan waktu lama. Kedua, kegiatan berdemokrasi sering kali bertabrakan dengan isu-isu domestik, seperti korupsi, bencana alam, dan terorisme sehingga kegiatan demokrasi sering tidak maksimal karena negara mendapatkan hal yang harus diselesaikan.
2. Dimensi Islamik
Sebelum zaman reformasi pemikiran-pemikiran mengenai Islam tidak pernah menjadi penentu kebijakan luar negeri Indonesia, tetapi kabar baiknya dengan mendefinisikan Islam sebagai ajaran yang menuntun kepada kedamaian, toleransi, dan harmoni, pemerintahan bisa menjadikan ha tersebut sebagai nilai jual lebih kepada dunia Internasional bahwa keislaman di Indonesia bersifat moderat dan terbuka bagi pemikiran-pemikiran lain demi memajukan negara. Tetapi walau bagaimanapun, pemikiran Islam tidak boleh dibesar-besarkan dan dipakai pada beberapak kasu internasional, contohnya pada masalah muslim Filipina di Mindanao, Rohingya di Burma, muslim Patani di Thailand, komunitas muslim di Xinjian, China. Walaupun Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia dan terbagabung di dalam organisasi Islam, tetapi Indonesia tidak bisa serta merta menggunakan konsep solidaritas kaum muslim untuk mengintertervensi negara lain.
Kelemahan domestik
Indonesia terus berupaya untuk memainkan peranan sebagai “jembatan” dan pemecah masalah-masalah internasional, hal ini bisa dilihat dari inisiatif-inisiatif Indonesia di dalam G20, upaya penyelesaian masalah yang berkaitan dengan negara Islam, dan bermain peran pada isu-isu lingkungan. Tetapi, potensi Indonesia banyak dilemahkan oleh dinamika politik, ekonomi, dan diplomasi domestik.
Keterikatan antara Timur Laut Asia dan Asia Tenggara memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk memainkan perannya di 4 area. Pertama, Indonesia berperan membentuk atmosfer ASEAN sebagai pusat diskusi dan pemecahan masalah regional. Kedua, Indonesia mendorong multilateralisme dan memperdalam bilateralisme dengan negara-negara berkekuatan besar, seperti Amerika Serikat, Cina, dan Jepang. Ketiga, Indonesia berjanji untuk memperkuat hubungan ASEAN dengan G20. Terakhir, Indoneasia menekankan peranan komunitas bagi negara-negara.
Dapatkah Indonesia Memimpin Dunia Terkait Kebijakan Perubahan Iklim?
Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, fakta ini disebabkan oleh eksploitasi, deforestasi, dan industri-industri pertambangan serta manufaktur di Indonesia. Akan tetapi, permasalahan emisi ini justru menjadikan Indonesia gencar menggalakan industri bebas emisi dari bahan bakar fosil. Sejalan dengan kegencaran Indonesia untuk membangun industri berbasis energi bersih, Indonesia juga terus berusaha untuk mendapatkan peran di ranah internasional terkait pembuatan kesepakatan dan perjanjian terkait climate change. Oleh karena itu Indonesia diproyeksikan mampu memiliki peran strategis perihal isu-isu lingkungan.
Ambisi untuk memegang peranan dalam mengatasi isu lingkungan dapat dilihat dari keseriusan Indonesia mengikuti Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim pada tahun 1992 serta langsung meratifikasi isi konvensi tersebut. Indonesia memiliki kepentingan yang kuat dalam rangka mengajak dunia menangani perubahan iklim. Kepentingan tersebut dikarenakan Indonesia sangat rentan terkena dampak perubahan iklim berupa kenaikan permukaan air laut yang tentu saja mengancam pesisir pantai, pertanian di sekitarnya, dan berbagai wabah penyakit akibat perubahan iklim yang sangat fluktuatif. Selain keuntungan-keuntungan tersebut, Indonesia juga berpeluang mendapatkan banyak bantuan internasional terkait pembiayaan lingkungan hidup yang rusak, hal ini disebabkan Indonesia memiliki hutan hujan tropis terpenting di dunia, sehingga kerusakannya bisa jadi membawa petaka bagi negara lain khususnya pada negara tetangga.
Keseriusan Indonesia untuk memainkan peran ditunjukan dengan menjadikan dirinya sebagai negara pertama yang meratifikasi Protokol Kyoto tahun 2004, menjadi tuan rumah dan ketua Konferensi Iklim PBB di Bali tahun 2007, dan menjadi negara kunci pada konferensi di Kopenhagen.
Terakhir, mengingat pentingnya Indonesia untuk memainkan peran terhadap isu lingkungan global, maka Indonesia harus terus berbenah terutama mengenai tata kelola dan penegakan hukum lingkungan domestik, sehingga kedepannya peranan Indonesia bisa menjadi lebih luas, sekaligus demi membangun Indonesia sebagai sentral kekuatan baru di dunia.
Muslim Indonesia dan Posisinya di Dunia Islam yang Lebih Luas
Jumlah penduduk yang mencapai 220 juta jiwa menjadikan negara ini sebagai basis muslim terbesar di dunia, tetapi dengan kuantitas yang sangat besar tidak serta merta membuat Indonesia memiliki banyak peranan di dalam pemikiran Islam. Fenomena ini dikarenakan muslim Indonesia sendiri tidak banyak berkontribusi untuk menyebarluaskan ajaran islam khas Indonesia ke negara lain, tidak seperti mesir dan negara-negara Arab lainnya yang membuka banyak pengajaran Islam dan membuka universitas khusus Islam yang terkenal di berbagai negara.
Kepemimpinan kaum muslim Indonesia belum sama sekali terlihat dari segi penyebarluasan budaya Islam Indonesia ke negara lain secara langsung, tetapi seorang pengikut setia Abdurrahman wahid yang bernama Abdullah Abbas menyatakan, Indonesia sempat memiliki peranan penting di dunia Islam di bawah kepemimpian Soekarno, yang mana mempelopori Gerakan Non Blok sehingga menjadi harapan baru bagi perimbangan global, khususnya bagi kaum muslim.
Tetapi yang unik dari Indonesia yang sulit ditemukan di negara-negara Islam lainnya ialah perkembangan dua denominasi Islam yang cukup besar, tanpa terlalu banyak terjadi “gesekan”, sehingga dapat dikatakan relatif damai. Dua denominasi yang dimaksud ialah asosiasi Muhamadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Muhamadiyah bergerak di berbagai macam bidang dalam rangka menyebarluaskan pemikiran-pemikiran Islamnya, yaitu dengan mendirikan sekolah dan perguruan tinggi, rumah sakit, panti asuhan, bahkan mendirikan bank yang bekerja secara profesional. Sedangkan NU berfokus pada dunia pesantren.
Seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya, umat Musim Indonesia cenderung menerima daripada ”mengekspor” ajaran Islam ke dunia, walaupun begitu Indonesia menjadi penting karena berperan sebagai tempat tumbuh kembang berbagai macam gerakan Islam dari berbagai penjuru. Contohnya adalah gerakah transnasional Naqshbandiyya Haqqaniyya Sufi pimpinan Sheik Nazim al-Qubrusi yang mengarahkan aktivitasnya ke Asia Tenggara.
Kesimpulannya Indonesia bisa memegang peranan di dunia Islam bagi negara-negara yang mau belajar mengenai aliran Islam yang moderat dengan ciri-ciri terbuka dan mengakui pluralisme.
Musim Semi Indonesia yang Damai: Ilmu Pengetahuan, Kebijakan, dan Reformasi
Akhir-akhir ini Indonesia sedang bekerja keras untuk menutupi ketertinggalan dari negara-negara maju terutama di bidang perekonomian. Usaha Indonesia mengejar negara maju tentu tidak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan kekayaan alam yang melimpah, tetapi juga sumber daya manusia yang mampu berinovasi dan menciptakan peluang ekonomi. Kemampuan sumber daya yang ada dirasa belum cukup dalam rangka mengejar ketertinggalan tersebut, oleh karena itu ilmu pengetahuan dan partisipasi aktif publik memegang peranan penting.
Ilmu pengetahuan (IP) sendiri berkenan dengan keseluruhan ide di dalam institusi pemerintahan, swasta, dan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Kesemua sektor tersebut diharapkan melakukan reformasi guna menangani tantangan di dalam kemajuan sektor ilmu pengetahuan. IP menjadi penting karena berkaitan langsung dengan Indeks Pebambangunan Indonesia yang lagi-lagi masih belum bisa dikatakan mempuni.
Fakta menunjukan Indonesia masih belum mampu bersaing ketat dengan negara maju, tetapi muncul kesempatan untuk memperbarui sumber daya manusia yang ada. Kesempatan itu timbul dari kualitas perekonomian yang meningkat, mahasiswa Indonesia yang melonjak, transparansi, dan semangat untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap publik. Sehingga apabila kesempatan yang datang bisa dimaksimalkan, bukan tidak mungkin sepuluh sampah dua puluh tahun kedepan Indonesia bisa kembali memegang peranan penting di dunia atau paling tidak kembali menjadi kekuatan Asia.
Permasalahan Identitas dan Legitimasi Posisi Indonesia di Dunia
Indonesia terbilang sebagai negara yang baru merdeka pasca perang dunia kedua, dan sebagai negara baru identitas Identitas Indonesia belum mencapai kata maksimal dikarenakan negara bekas jajahan Belanda, tetapi setelah proklamasi dan melewati masa transisi sulit dari era orde baru Indonesia tumbuh sebagai negara demokrasi dengan perekonomian yang berpotensi menyaingi India dan Cina. Bertolak dari fakta tersebut, identitas dan legalitas demokrasi di Indonesia harus menjadi fondasi bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara dalam rangka memastikan kedudukannya di lingkup regional dan bahkan dunia.
CATATAN KRITIS
Catatan penting pertama yang menjadi bahan koreksi adalah mengenai ketidakseimbangan konten antara kesempatan Indonesia dalam rangka menjadi raksasa Asia dengan hambatan-hambatan yang terjadi. Sebagai contoh pada bab satu buku ini menjelaskan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi negara utama yang peduli pada isu lingkungan tetapi pada kenyataannya FAO[4] mencatat sampai 2010 saja Indonesia telah melepaskan 13,1 miliar emisi karbon dioksida yang berarti menempati peringkat ke dua di dunia, yang lebih parah data terbaru National Geographic (2016)[5] mengabarkan Indonesia menempati peringat pertasa sebagai negara penghasil gas rumah kaca setelah hutan Kalimantan mengalami kebakaran. Kedua, saya melihat terdapat fakta yang bertolak belakang pada bab 1 dengan bab 7 mengenai potensi Indonesia menjadi pusat peranan negara Islam di dunia, pasalnya pada bab 1 buku ini dengan jelas menyatakan Indonesia mampu menjadikan dirinya pemimpin atas negara muslim dengan pertimbangan Indonesia turut aktif terlibat dalam organisasi Islam Internasional seperti OKI, tetapi pada bab 7 penulis menyanggah dengan menyatakan Indonesia belum mampu menjadi pemimpin atas negara Islam dikarenakan muslim Indonesia kurang percaya diri untuk menyebarkan keislaman khas Indonesia, bahkan bila dibandingkan dengan Turki. Walaupun pada bab 7 penulis mengatakan Indonesia bisa menjadi pasar bagi berbagai ajaran Islam dari penjuru dunia, tetapi Indonesia kurang mampu menjadi aktor yang menjadi pedoman bagi negara bermaoritas muslim seperti di Arab.
Kritik berikutnya adalah mengenai potensi Indonesia untuk menjadi kekuatan dunia baru yang terdiri dari inflasi yang relatif rendah, sedikit hutang (26% dari GDP), demografi yang dipenuhi usia produktif, dan pendapatan yang berasal dari 2/3 konsumsi domestik. Pertama, inflasi yang relatif rendah belum bisa menjadi jaminan bagi Indonesia untuk menjadi kekuatan ekonomi, ditambah lagi penulis bahkan memprediksi Indonesia bisa menjadi kekuatan baru setelah Cina. Inflasi rendah tidak bisa menjadi jaminan sebab, dinamika perekonomian di dunia sangat sulit untuk ditebak karena fenomena-fenomena dunia internasional berlangsung sangat cepat dan bisa saja suatu negara mengalami collapse akibat dampak krisis global. Menariknya, penulis berani menjadikan Indonesia sebagai pesaing Cina di 2026 yang menurut saya sisa waktu sepuluhtahun ini Indonesia sangat kecil kemungkinan untuk bisa mengejar Cina, mengingat Cina berlimpah akan sumber daya manusia yang profesional sehingga pertumbuhannya terus mengalami akselarasi. Kedua, Indonesia dikatakan berpotensi menjadi kekuatan baru karena jumlah hutang yang sedikit (26% dari GDP), hal ini menurut saya adalah prediksi yang kurang berdasar karena hutang Indonesia sebenar 26% (tahun 2012) tidak bisa dijadikan patokan untuk perkiraan di tahun 2050, karena dari 2012 ke 2050 pastinya banyak hal yang terjadi pada perekonomian Indonesia, dan terbukti di era saat ini, Jokowi bahkan kembali berhutang pada Cina untuk proyek kereta cepat, sehingga hutang Indonesia bertambah. Ketiga, potensi Indonesia menurut penulis ialah bonus demografi dimana penduduk Indonesia yang didominasi usia muda sehingga ketergantungan usia tua bisa ditangani oleh usia produktif dari 2015-2050, tetapi pada kenyataannya menurut data BPS (2015) pengangguran (usia produktif yang tidak memiliki pekerjaan) di Indonesia masih sangat banyak. Tragisnya 44,27% pekerja Indonesia hanya berpendidikan berpendidikan Sekolah Dasar dan hanya 8,3% sarjana yang mendapat pekerjaan.[6] Tentunya fakta di lapangan ini tidak bisa dipandang sebelah mata, apabila penulis bermaksud memprediksi potensi Indonesia dari struktur demografi menurut usia.
Poin lain yang menjadi bahan evaluasi ialah terlalu luasnya materi yang disajikan sehingga setiap ide pendukung potensi Indonesia tidak tertuang secara mendalam. Contoh pertama mengenai isu lingkungan hidup, yang mana penulis memprediksi Indonesia mampu menjadi pemimpin kebijakan lingkungan karena Indonesia merupakan negara pertama yang meratifikasi Protokol Kyoto (2004) dan pernah menjadi tuan rumah konferensi perubahan iklim di Bali, menurut saya hanya dengan data tersebut penulis tidak bisa memprediksi potensi Indonesia di bidang lingkungan hidup. Contoh kedua mengenai potensi Indonesia untuk bersaing dalam bidang ilmu pengetahuan. Menurut saya, enar bahwa Indonesia mempunyai potensi itu, tetapi apabila prediksinya dalam waktu singkat, saya kurang yakin karena tidak meratanya pendidikan di Indonesia, sehingga membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa mengejar ketertinggalan di sektor pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Data-data yang disajikan sebagian besar dikutip dari era orde baru sehingga sulit apabila dipakai untuk memprediksi potensi Indonesia, karena setiap rezim memiliki cara-cara kepemimpinan dan urgensinya masing-masing. Sehingga ada baiknya data yang dimasukan diambil lebih banyak dari rezim Yuhdoyono (karena buku ini ditulis de era Yudhoyono) sehingga lebih relevan untuk melihat trend perekonomian dunia dan eskalasi politik internasional.
Di luar semua kritik yang ada, buku ini sangat baik dan terstruktur. Materi yang disajikan tiap-tiap bab di atur sedemikian rupa sehingga pembaca dapat mengerti secara detail informasi yang disampaikan penulis. Selain itu buku ini juga menyajikan sudut pandang baru untuk melihat posisi, potensi, dan kendala Indonesia di dunia internasional yang selama ini kurang disoroti media dalam negeri.
[1] Proporsi usia kerja produktif Indonesia diperkirakan memunjak pada tahun 2020,dimana perbandingan ketergantungan hanya akan 46 per 100 pekerja. Jika dibandingkan 53 per 100 di India, 54 per 100 di Filipina, 56 per 100 di Amerika Serikat dan Inggris, serta 68 per 100 di Jepang.
[2] Indonesia telah melewati masa transisi ke sistem yang lebih demokratis, dan masa transisi yang sempat mendatangkan ketidakstabilan politik dan keamanan lamban laun sudah memulih. Berbeda dari Cina yang sampai saat ini masih dalam tahap transisi dan sangat potensial untuk terjadinya konflik, karena sistem pemerintahannya dibawah satu partai saja sejak 1950an.
[3] Indonesia memisahkan diri dengan perdagangan dunia di awal 1960, tetapi 10 tahun kemudian menjadi sangat terbuka. Mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi di periode 1970-1980 tetapi dibarengi kebijakan proteksi pasar yang sangat ketat. Kasus lain adalah setelah dihantam krisis 1998, Indonesia menjadi sangat terbuka dibawah program IMF.
[4] Sumber: http://www.mongabay.co.id/2013/02/22/statistik-fao-indonesia-buang-187-miliar-ton-karbon-antara-1990-2010/, diakses pada 12 Juli 2016, pukul 23.00 WIB
[5] http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/10/emisi-karbon-indonesia-kalahkan-amerika, diakses pada 12 Juli 2016, pukul 23.00 WIB
[6] Sumber: https://www.bps.go.id/Brs/view/id/1196, diakses pada 12 Juli 2016, pukul 23.35 WIB