top of page

Keterputusan dari Realita dan Kematian Empati Pejabat

  • Writer: Denztrial Celvin Kehi
    Denztrial Celvin Kehi
  • 2 days ago
  • 4 min read

ree

Ada perbedaan mendasar antara realita sehari-hari dengan realita politik. Dalam kehidupan biasa, orang menghadapi harga beras, listrik, ongkos sekolah anak, dan pekerjaan yang harus dijaga agar dapur tetap berasap. Dalam politik, realita sering kali dibentuk oleh cerita dan persepsi. Ketika rakyat percaya pejabat tidak peduli atau tidak jujur, maka persepsi itu menjadi kenyataan politik yang nyata.


Indonesia saat ini berada pada persimpangan yang rumit. Di satu sisi, kita memiliki modal demografi muda dan harapan besar terhadap perubahan. Di sisi lain, ada jurang yang semakin lebar antara cara pejabat melihat dunia dengan cara rakyat merasakannya. Politik seolah bergerak dalam ruang steril, jauh dari denyut kehidupan masyarakat yang harus memutar otak setiap hari untuk bertahan hidup.


Fenomena politisi yang lahir dan besar dalam lingkaran sempit partai bukanlah hal baru. Di banyak negara, kritik ini sudah lama disuarakan. Di Inggris, misalnya, para analis menyebut munculnya generasi politisi karier yang sejak lulus universitas langsung bekerja di kantor partai, kemudian menjadi penasihat, lalu melompat ke parlemen. Mereka cerdas secara akademik, tetapi miskin pengalaman hidup di luar dunia politik.[1]


Kondisi serupa bisa kita temui di Indonesia. Dinasti politik, kultur birokrasi, serta jalur yang hampir sepenuhnya ditentukan oleh partai melahirkan pejabat yang tidak pernah mengalami pergulatan hidup sehari hari seperti mayoritas rakyat. Bagaimana mungkin mereka bisa memahami kecemasan seorang ibu yang menunggu antrean gas melon tiga kilo di warung, atau bapak yang harus meminjam uang untuk membayar uang sekolah anak. Keterputusan inilah yang perlahan meruntuhkan empati.


Gelombang demonstrasi yang menamakan diri “17+8 Tuntutan Rakyat” menjadi potret baru ketidakpuasan publik. Ia lahir dari dua pemicu utama: tragedi seorang pengemudi ojek daring yang tewas dilindas kendaraan aparat dan fakta bahwa anggota DPR membawa pulang gaji dan tunjangan lebih dari seratus juta rupiah per bulan. Namun lebih dari pada itu, demonstrasi tersebut tidak lahir tiba-tiba. Ia tumbuh dari keresahan panjang rakyat kecil yang semakin tertekan oleh beban hidup: harga bahan pokok naik, biaya pendidikan dan kesehatan sulit dijangkau, lapangan kerja semakin sempit.


Di saat yang sama, kebijakan negara sering dianggap lebih berpihak pada kelompok tertentu ketimbang masyarakat luas. Saluran aspirasi formal terasa buntu, sehingga jalanan menjadi ruang terakhir untuk bersuara. Gelombang massa yang datang dari berbagai daerah, dengan spanduk dan yel-yel, adalah simbol nyata bahwa jurang antara panggung politik dan kehidupan sehari hari kian melebar.


Pesan moral demonstrasi ini jelas. Rakyat tidak turun karena benci, melainkan karena cinta pada negeri dan karena ingin didengar. Mereka menagih pemimpin yang berani merasakan penderitaan rakyat secara tulus, bukan sekadar menebar janji. Tragedi korban jiwa menjadi pengingat bahwa demokrasi kita belum matang, karena seharusnya ruang demokrasi aman untuk bersuara. Pemerintah kini ditantang untuk mendengar dengan hati, meninjau ulang kebijakan yang membebani, serta mengembalikan kepercayaan publik. Jika tidak, demonstrasi akan selalu hadir sebagai bahasa rakyat yang merasa ditinggalkan.


DPR merespons dengan langkah yang mereka anggap cepat. Tunjangan rumah dipangkas, perjalanan luar negeri dibatasi, dan gaji bersih diumumkan sekitar Rp 65.59 juta per bulan.[2] Pemangkasan tunjangan DPR setelah demonstrasi 17+8 memang diumumkan secara resmi. Tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan dihentikan, biaya listrik, telepon, dan transportasi juga dipangkas, bahkan perjalanan luar negeri dimoratorium.[3] Pimpinan DPR menegaskan langkah ini diambil demi merespons aspirasi rakyat, memperbaiki diri, dan mengembalikan kepercayaan publik.


Namun di mata banyak orang, keputusan ini lebih mirip jawaban administratif ketimbang perubahan substansial. Demonstrasi yang menelan korban jiwa menuntut keadilan struktural, tetapi jawaban DPR berhenti pada angka nominal. Jurang empati terlihat jelas: rakyat bicara tentang beban hidup dan ketidakadilan, sementara wakil mereka hanya menghitung potongan tunjangan.


Fenomena ini bukan monopoli Indonesia. Di Australia, publik muak melihat politisi yang lebih sering muncul di lounge eksklusif bandara daripada di transportasi umum. Skandal perjalanan dinas dan fasilitas mewah membuat rakyat merasa wakil mereka tidak lagi mengenal realita “struggle street”. Di Inggris, masyarakat menyoroti politisi yang pandai debat tetapi tidak tahu rasanya membayar tagihan gas di musim dingin.


Di Amerika, penelitian menunjukkan politisi sering kali mengira pandangan publik lebih dekat dengan posisi mereka daripada kenyataannya.[4] Para elite media, lobi, dan birokrat juga percaya bahwa rakyat mendukung opini mereka, padahal data mengatakan sebaliknya. Semua ini mengarah pada kesimpulan yang sama: di berbagai belahan dunia, rakyat merasa tidak diakui dan tidak dihargai.


Empati mati ketika pejabat berhenti menanyakan bagaimana rasanya hidup dengan gaji pas-pasan, bagaimana paniknya orang tua menghadapi biaya sekolah, atau bagaimana cemasnya buruh menunggu kabar pemutusan hubungan kerja.


Ketika empati mati, politik kehilangan jiwa. Demokrasi tereduksi menjadi mesin prosedural lima tahunan yang kering makna. Legitimasi pun perlahan luntur, karena rakyat tidak lagi merasa dipahami dan dihargai.


Indonesia sedang diuji. Potensi besar ada di depan mata, tetapi ia bisa hancur jika keterputusan dari realita terus dibiarkan. Gelombang demonstrasi menunjukkan bahwa rakyat sudah lelah menunggu partai oposisi bersuara. Mereka memilih turun sendiri ke jalan, damai namun tegas, untuk menagih keadilan.


Kematian empati pejabat bukan hanya masalah moral, melainkan ancaman politik. Negara bisa bertahan tanpa satu atau dua program unggulan, tetapi tidak bisa bertahan tanpa legitimasi. Legitimasi lahir dari rasa dihargai, bukan dari data makroekonomi yang indah di atas kertas.

[1] Wright, T. (2014, February 24). We are increasingly being governed by people with a diminished experience of the world beyond politics. blogs.lse.ac.uk. https://blogs.lse.ac.uk/politicsandpolicy/we-are-increasingly-being-governed-by-people-with-a-diminished-experience-of-the-world-beyond-politics/

[2] Dewi, I. R. (2025, September 16). Gaji Anggota DPR Kini Rp 65,5 Juta/Bulan, Ini rincian tunjangannya. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20250906085412-4-664627/gaji-anggota-dpr-kini-rp-655-juta-bulan-ini-rincian-tunjangannya

[3] Rachman, A. (2025, September 8). Dipangkas! Ini Beda Tunjangan DPR Sebelum & Setelah Demo Besar-besaran. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20250908060603-4-664838/dipangkas-ini-beda-tunjangan-dpr-sebelum-setelah-demo-besar-besaran

[4] Shepeard, C. (2014, April 4). Are Politicians’ Perceptions Out of Touch with Reality? Truthout. https://truthout.org/articles/are-politicians-perceptions-out-of-touch-with-reality/

 
 
 

Comments


bottom of page