KRITIK TERHADAP MARXISME
![](https://static.wixstatic.com/media/88062d_1ed72e000d214202835a299ec79495c4~mv2_d_1897_1265_s_2.jpg/v1/fill/w_980,h_654,al_c,q_85,usm_0.66_1.00_0.01,enc_auto/88062d_1ed72e000d214202835a299ec79495c4~mv2_d_1897_1265_s_2.jpg)
Karl Marx merupakan seorang filsuf asal Jerman yang terkenal karena teori marxismenya. Marxisme sendiri melihat dunia sebagai panggung yang terdiri atas dua kelas berdasarkan sifat ekonomi dan kapital yang dimiliki, yaitu kelas borjuis dan kelas proletar. Kelas borjuis merupakan kelas pemegang kapital atau modal dengan ciri-ciri mempunyai usaha atau pabrik yang mempekerjakan buruh-buruh. Kelas proletar adalah golongan pekerja yang memberikan tenaganya untuk bekerja sebagai buruh pada usaha milik kelas borjuis. Marx melihat dunia berjalan dengan diisi oleh interaksi antara dua kelas tersebut, dimana kelas yang dominan akan menguasai kelas lainnya. Interaksi yang dimaksud Marx adalah interaksi berlawanan, dimana kelas yang satu selalu beroposisi dengan kelas lainnya. Untuk itu Marx menyarankan dan mendorong kelas yang lebih lemah untuk bersatu dan melakukan revolusi dengan tujuan menjadikan negara sebagai wadah tanpa kelas atau yang dikenal dengan “negara marxis”. Negara marxis merupakan tujuan akhir dan cita-cita Marx, yang mana menganggap negara marxis sebagai hal yang harus dikejar.
Paling tidak terdapat empat poin konsep marxime mengenai kepentingan antar kelas, yaitu:[1]
Kepentingan timbul karena adanya stratifikasi dari kegiatan perekonomian, yang mana kebutuhan suatu individu ditentukan oleh di mana letak individu tersebut dalam stratifikasi perekonomian, borjuis atau proletar.
Kepentingan seseorang ditentukan oleh posisi kelas orang tersebut
Kepentingan kelas borjuis dan kelas proletar selalu bertentangan
Perbedaan kepentingan tiap kelas menyebabkan konflik kepentingan politik, di mana setiap kelas ingin memegang kekuasaan negara.
Bertolak dari pemikiran-pemikiran Marx yang dituangkan di dalam teorinya, maka timbul beberapa kritik yang mempertanyakan relevansi dari teori tersebut. Yang pertama, Marx sangat mengecilkan dunia saat membagi menjadi dua kelas berdasarkan sistem produksi dan ekonomi. Marxisme tidak melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja menjadikan dunia ke dalam kelas-kelas lain, misalnya berdasarkan ideologi, agama, budaya, pandagan politik, dan identitas kebangsaan. Sebagai contoh saat terjadi perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika serikat, dunia terpecah ke dalam dua kubu di mana ada kubu yang mendukung ideologi liberalis yang condong ke Amerika Serikat dan ideologi komunis Uni Soviet. Pada saat itu ideologi tidak hanya membagi dunia secara luas, melainkan sampai kepada tatanan yang lebih spesifik, yaitu negara. Di mana bisa dilihat dari pecahnya satu negara hanya karena perbedaan ideologi, seperti yang terjadi pada Jerman Barat dan Jerman Timur pada 1961, pecahnya Vietnam menjadi Vietnam Utara dan Timur, dan lengsernya Soekarno yang terindikasi akibat ideologi Soekarno yang cenderung sosialis. Contoh lain yang bisa saja membagi dunia adalah identitas kebangsaan. Identitas kebangsaan yang sangat kuat bisa saja menyebabkan dunia terbelah menjadi beberapa bagian. Sebagai contoh rasa superioritas Bangsa Arya, Jerman menyebabkan Hitler beserta tentaranya ingin menguasai daratan Eropa serta memusnahkan Bangsa Yahudi di negaranya. Dari kedua contoh yang telah dijabarkan, dapat terlihat jelas bahwa ada faktor lain selain sistem produksi ala Marx yang bisa membagi dunia ke dalam kelas-kelas, dan ketika kelas-kelas tersebut terbentuk, individu bisa saja melupakan stratifikasi produksi atau sistem ekonomi orang-orang di sekitarnya karena fokus kepada variabel lain, seperti variabel ideologi dan identitas kebangsaan.
Kritik kedua terdadap pemikiran marxis adalah anggapan marx bahwa negara marxis atau utopian communism sebagai puncak perjuangan kelas buruh dan di sisi lain kapitalis sebagai jalan yang membawa kepada kehancuran sepertinya harus ditelaah kembali. Marx menilai kebebasan publik untuk mengatur sendiri kapital yang dimiliki sama saja membawa negara tersebut kepada kehancuran, yang mana Marx beranggapan bahwa apabila seseorang terus menumpuk kapital dengan cara membuka pabrik yang baru maka orang tersebut hanya akan memperlebar gap antarkelas, sehingga ada baiknya agar negara mengambil alih hal publik dengan cara menjadikan bnegara sosialis. Tetapi pada kenyataannya pandangan marx bisa dibilang bertolak belakang dari relevansi di zaman ini. Dapat dilihat negara-negara sosialis mengalami kebangkrutan di mana-mana, berbeda dari negara kapitalis di Eropa misalnya, yang terus bertumbuh ke arah sejahtera. Negara sosialis tersebut contohnya Kuba pasca revolusi. Setelah revolusi di bawah pimpinan Che Guevara dan Fidel Castro, kondisi perekonomian Kuba mulai membaik, tetapi kondisi perekonomian tersebut tidak berlangsung lama, karena setelah diguncang krisis, Kuba mengalami collapse dan bahkan dampaknya masih bisa dirasakan saat ini. Berikutnya ada Uni Soviet yang beraliran sosialis, dimana banyak sekali timbul perlawanan masyarakat domestik, dan beberapa kali diguncang permasalahan ekonomi. Masalah-masalah tersebut kemudian mengantarkan Uni Soviet kepada akhir dari negara tersebut pasca perang dingin. Yang terbaru adalah Korea Utara dengan pandangan komunisnya. Korea Utara dibawah pimpinan Partai Komunis secara turun-temurun (saat ini dibawah pimpinan Kim Jong Un sebagai presiden tetap) tidak menunjukan efek positif bagi perekonomian Korea Utara sendiri. Fenomena ini tampak jelas jika dibandingan dengan “saudaranya” di selatan (Korea Selatan) yang beraliran liberal kapitalis. Korea Selatan bahkan menjadi salah satu kekuatan perekonomian di Asia saat ini dengan, bahkan Indeks Kesejahteraan (Prosperity Index) tahun 2015 menunjukan Korea Selatan berada di peringkat 28 dari 142 negara yang diteliti.[2]
Hal ketiga yang perlu mendapatkan kritikan ialah pandagan Marx bahwa revolusi terjadi sebagai akibat dari adanya interaksi kelas dimana salah satu kelas mendominasikelas lainnya, sehingga menimbulkan kesadaran di kelas yang kecil untuk melakukan reformasi secara cepat. Tetapi kenyataan bahwa revolusi hanya terjadi di negara kapitalis tampaknya merupakan kesalahan besar dari Marx, yang mana bisa dilihat dari revolusi Etnis Chechnya di Uni Soviet ketika berada dibawah pimpinan Mikhael Gorbacev.[3] Ternyata walaupun Uni Soviet telah menerapkan sistem sosialis di negaranya dengan menciptakan ketiadaan kelas-kelas eksklusif, tetapi tetap saja terjadi revolusi. Realita ini bahkan bertolak belakang dengan negara kapitalis di Eropa Barat yang bahkan terus mengalami pertumbuhan ekonomi positif dan hampir tidak pernah mengalami isu revolusi kelas tertentu.
Kritik keempat ialah mengenai sistem dari negara sosialis, di mana memberikan kekuasaan pada negara untuk mengatur kelas-kelas sehingga tidak ada satu kelas yang lebih tinggi dari kelas lainnya, dengan kata lain meniadakan hak kepemilikan terhadap beberapa properti seperi contohnya tanah. Negara sosialis menekankan pada fungsi pemerintah yang sangat dominan kepada masyarakat. Akan tetapi menariknya, Marx kurang memperhatikan kemungkinan pemerintah untuk menjadi kelas dominasi baru di dalam negara. Sebagai contoh ialah negara Korea Utara. Korea Utara menjadi contoh negara sosialis yang kemudian menjadikan pemerintah sebagai kelas yang sangat dominan dan otoritarian, yang mana pemerintahan Korea Utara telah berubah menjadi negara dinasti dengan pimpinan keluarga Kim dari Partai Komunis. Dari Kim Jong-Il sampai kepada Kim Jong-Un pemerintah menjadi sakan kelas yang berupaya menguasai negara sehingga segala sesuatu yang dimiliki negara menjadi milik golongan tertentu (keluarga Kim).
Akhirnya, penulis menarik kesimpulan bahwa Marxisme paling tidak harus mengalami revisi di beberapa bagian yang telah dikritik, dengan tujuan menjadikan pemikiran marxisme bersifat dinamis karena dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dan kondisi sosial saat ini. Revisi yang dimaksud agaknya penting berhubung, situasi hari ini tentu berbeda dengan era Marx dan Engels ketika merumuskan teori marxisme di mana pada era tersebut praktek-praktek feodalisme masih sangat kental sehingga menyebabkan gap yang sangat jauh dan memprihatinkan. Kelas proletar hanya menjadi alat bagi para kapitalis untuk mendulang harta dengan feed back bagi kaum proletar yang tidak sebanding. Contoh tidak relevannya pandangan marxis di saat ini ialah, pandangan yang berlebihan mengenai kapitalis yang menekan bahkan mengeksploitasi buruh atau pegawainya. Tidak relevannya terletak pada realita saat ini bahwa setiap perusahaan di era modern telah dilengkapi dengan aturan-aturan jelas mengenai kepegawaian yang menyangkut berapa upah minimun yang didapat, jam kerja pegawai, tunjangan, hari libur, dan sebagainya yang bahkan telah diatur oleh berbagai negara. Sehingga kemungkinan pertentangan antara kelas bisa diminimalisir yang berimplikasi pada harmoni antara kelas borjuis atau pemilik modal dan kelas pekerja. Dengan kata lain, kesimpulan ini dapat jua dijadikan kritik pada pendapat Marx bahwa kelas borjuis dan kelas pekerja selalu memiliki kepentingan yang bertentangan.
[1] James Caporaso dan David Levine, Teori-Teori Ekonomi Politik, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2015, hlm. 129
[2] Sumber: http://www.prosperity.com/#!/, diakses pada 04 Agustus 2016, pukul 22.45
[3] Untuk mempelajari lebih lanjut, dapat membaca Perang Chechnya yang ditulis oleh Ari Subiakto (2010)