Chechnya vs Si Jagal Besar: Suatu Kajian Politik Identitas
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan peperangan yang terjadi antara Chechnya dan Rusia pasca keruntuhan Uni Soviet. Beralaskan tujuan tersebut, maka penulis membagi pembahasan dalam dua pokok besar. Pertama adalah gambaran runtut mengenai kronologi peperangan. Kronologi yang dimaksud ialah dari perpecahan Uni Soviet, pendeklarasian kemerdekaan warga Chechnya, invasi militer Rusia yang menyebabkan perang Chechnya I, dan sampai pada invasi militer Rusia II yang menyebabkan keruntuhan Chechnya sebagai negara yang berdaulat. Lalu, pada bagian kedua, penulis berusaha memberikan penjelasan tentang alasan di balik peperangan yang terjadi dengan menggunakan landasan politik identitas. Landasan ini diambil lantaran menurut hemat penulis, peperangan yang terjadi cukup relevan dengan butir-butir dalam teori politik identitas yang selanjutnya akan dijelaskan dengan lebih spesifik. Bertolak dari realitas ini, pada penjabarannya, penulis berupaya membangun cara penulisan korelasional. Dalam hal ini, penulis mengaitkan kisah runtut peperangan Chechnya-Rusia dengan fenomena identitas politik.
Singkatnya, perang Chechnya terjadi dalam kurun waktu tahun 1994-2000. Perang yang berlangsung selama lebih kurang enam tahun berdampak besar tidak hanya bagi pemerintahan kedua belah pihak, tetapi lebih dari pada itu warga sipil Chechnya yang dibombardir secara membabi buta oleh tentara-tentara Rusia. Fakta ini diperkuat dengan penemuan bahwa tindakan militer Rusia bisa saja disebut sebagai aksi genosida terhadap Chechen (etnis asli Chechnya).
Hasil dari penelitian sekunder ini menunjukan adanya korelasi yang kuat antara politik identitas etnis Chechen dengan peperangan yang telah berlangsung. Kuatnya politik identitas ini setidaknya tercermin dari perang yang terjadi sampai dua babak. Babak pertama antara tahun 1994-1996 dan babak kedua pada 1999-2000.
Kata kunci : Etnis Chechen, Perang Chechnya, politik identitas
1. Latar Belakang
Demi mencapai gambaran yang utuh mengenai perang Chechnya sebagai implikasi dari kuatnya politik identitas pada negara tersebut, maka ada baiknya penulis menjabarkan tiga hal utama yang perlu diketahui pembaca sebagai pengetahuan awal mengenai tulisan ini. Pertama penulis akan menjelaskan Chechnya secara keseluruhan. Penjelasan tersebut termasuk status Chechnya sebagai suatu kumpulan politis, letak geografis, kuantitas penduduk, dan corak sosial-budaya. Kedua adalah gambaran singkat mengenai peperangan yang terjadi antara Chechnya dengan ‘Si Jagal Besar’ (Rusia). Gambaran yang dimaksud ialah kronologis dari pecahnya perang pertama, perang kedua, sampai keruntuhan Chechnya sebagai negara yang berdaulat. Terakhir ialah identitas baru Chechnya setelah kekalahannya terhadap Rusia.
Pada 22 Agustus 1991 penduduk salah satu kota di Chechnya bernama Grozny berbondong-bondong memadati lapangan Sheikh Mansur untuk merayakan perpecahan Uni Soviet di bawah pimpinan Mikhail Gorbachev.[1] Chechnya melihat perpecahan Soviet sebagai momentum yang paling tepat untuk memproklamasikan dirinya sebagai negara merdeka dikarenakan semenjak berdirinya Soviet, Chechnya selalu berada di dalam kedaulatan Rusia (Chechnya adalah daerah otonomi Rusia dari awal terbentuknya Soviet pada 30 Desember 1922). Pasca berkumpulnya penduduk di lapangan kota Grozny, kemerdekaan pun merupakan sebuah keniscayaan. 27 Oktober 1991 Dzhokhar Dudayez terpilih sebagai presiden setelah berhasil memimpin penyerangan mendadak terhadap majelis sidang Partai Komunis Soviet dan pemerintahan Republik Otonomi Chechen-Ingush.
Setelah mendapatkan kemerdekaan secara de facto Chechnya memiliki wilayah seluas 15.000 km2 yang dihuni 970.000 jiwa pada tahun 1994,[2] dan dengan penduduk sebesar itu, Etnis Chechen merupakan etnis yang berjumlah paling besar. Di lain sisi, agama Islam tumbuh dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan etnis Chechen, hal ini dapat dilihat dari kebudayaan dan adat istiadat yang seutuhnya berlandaskan hukum-hukum Islam, salah satunya dengan menganggap jihad sebagai cara mempertahankan keutuhan bangsa.
Menjadi menarik ketika peperangan terjadi antara Chechnya dan Rusia ialah ketika Rusia mengetahui bahwa sumber daya alam utama Chechnya ialah minyak. Mengingat letak geografis Chechnya yang berbatasan langsung dengan Laut Kaspian di mana terdapat 25 persen dari cadangan minyak dunia dan posisi Rusia yang mengalami krisis setelah kejatuhan Uni Soviet.[3] Selain minyak, Chechnya juga menyimpan bahan bakar fosil, material bangunan serta air mineral. Beberapa kekayaan alam yang dimiliki Chechnya ini kemudian menuntun pada ekspansi Rusia sehingga timbul peperangan babak pertama dan babak kedua. Pasca perang di tahun 2000 awal, penduduk Chechnya yang mulanya memiliki identitas Muslim dan berdarah Chechen kemudian berubah karena penjagalan besar-besaran oleh militer Rusia kepada warga sipil Chechen.
Dari penjabaran yang telah diuraikan, penulis berusaha mencari tahu dua poin besar, yaitu untuk mengidentifikasi jalannya perang Chechnya-Rusia serta dampak dari politik identitas Etnis terhadap pertempuran terbuka Chechnya dan Rusia
2. Landasan Teoritis
Politik identitas merupakan terma yang digunakan untuk menjelaskan tindakan politis suatu kelompok masyarakat dengan mengedepankan kepentingan kelompok tersebut. Kelompok yang ada biasanya terbentuk karena persamaan-persamaan yang mengikat, serta di lain sisi mengidentifikasikan kelompok di luar mereka sebagai rival. Biasanya politik identitas muncul akibat persamaan nasib, baik karena ketidakadilan, diskriminasi, dan sebagainya.
Hal ini didukung oleh tulisan Crissida Heyes dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy bahwa politik identitas merupakan simbol kegiatan politis di dalam lingkup yang lebih luas dan teorisasi terhadap pengalaman ketidakadilan yang dialami anggota-anggota kelompok. Politik identitas berfungsi sebagai pembebas dari kedaan marginal ataupun marginalisasi dari satu kelompok kepada kelompok lain. Dengan kata lain, penulis dapat mengatakan bahwa politik identitas umumnya mengarah pada gerakan-gerakan kaum yang terpinggirkan, baik secara sosial, politik, ekonomi, budaya, ideologi, dan lain sebagainya. Lebih dari pada itu, menurut Beyme[5] politik identitas mempunyai tiga tahapan gerakan,
Di satu sisi, Richard Thompson Ford dalam salah satu jurnalnya[6] menyatakan, politik identitas menawarkan suatu orientasi politik yang dibangun atas dasar identitas sosial. Maksudnya ialah, identitas sosial datang sebelum politik, sehingga identitaslah yang membentuk dan menciptakan karakter pada suatu kelompok politik tertentu. Sejalan dengan pemikiran Ford, seorang profersor berkebangsaan Inggris bernama Richard Jenkins mengemukakan bahwa politik identitas merupakan suatu organisasi kolektif dalam terma kesamaan perilaku dan bentuk-bentuk tindakan politik lainnya[7], sedangkan menurut Sri Buchari (2014) secara teoritis politik identitas ialah suatu yang tumbuh dalam tiap-tiap etnis, yang mana eksistensinya bersifat laten sehingga suatu saat berpotensi mengemuka. Selain itu secara empiris politik identitas dapat dikatakan sebagai alat aktualisasi politik suatu grup yang dibangun atas dasar kebudayaan setempat.[8]
Menjadi perdebatan berikutnya ialah mengenai konsep etnisitas. Etnis sendiri merupakan salah satu elemen yang berpotensi menjadi dasar dari suatu politik identitas. Menurut Wsevolod Isajiw, konsep mengenai etnis dibedakan menjadi dua bagian, pertama secara objektif dan berikutnya secara subjektif. Berdasarkan askpek objektif, terminologi etnis merupakan sesuatu yang bisa diobservasi sebagai kenyataan dalam keberadaan institusi-institusi, termasuk ikatan kekerabatan, keturunan dan pola-pola perilaku, sedangkan dimensi subjektif mengacu pada sikap, nilai dan konsepsi masyarakat dalam konteks proses komunikasi terhadap suatu individu.[9] Menyambung Isajiw, Philip Yang (2000)[10] etnisitas merupakan titik keseimbangan antara persepsi subjektif yang didasarkan oleh beberapa karakteristik objektif seperti ciri fisik, kebudayaan, dan kebangsaan.
Chechnya seperti negara Islam lainnya becita-cita mendirikan negara yang bernafaskan Al-Quran dan Syariah. Cita-cita yang diejawantahkan dalam sumpah di bawah pimpinan Dudayev ini kemudian yang kemudian berkontribusi mengikat semua warganya pada satu identitas yang sama. Identitas yang seperti ini berpotensi mendorong perlawanan apabila kelompok lain menjadi rival dan mengganggu kestabilan kelompok yang bersangkutan. Demikian seperti yang dijabarkan oleh Joseph Schacht (2010)[11] bahwa hukum Islam menganggap sumpah (yamîn) sebagai hukum itu sendiri yang wajib ditaati dan dijalankan. Lebih dari pada itu, menurut Beyme[12] politik identitas mempunyai tiga tahapan gerakan, yaitu gerakan politik pramodern, gerakan politik modern, dan gerakan politik posmodern.
Gerakan politik pramodern memiliki ciri-ciri seperti, (1) perpecahan mendasar, misalnya antarkelompok etnis yang kemudian menimbulkan gerakan sosial dan politik. Hal ini terjadi karena satu etnis menilai etnis lain bernilai kondradiktif. Selain itu dapat dipicu oleh ketidaksetaraan distribusi keadilan sehingga menyebabkan stereotip negatif dan diskriminasi. (2) Dipelopori oleh seorang pemimpin ideologi, lalu berujung pada perebutan kekuasaan dari satu penguasa kepada penguasa yang lainnya. Tipe gerakan politik pramodern ialah bertujuan untuk mengkudeta pemimpin yang lama, lalu membangun suatu wilayah baru dengan kekuasaan dari kelompok tersebut atas daerah tertentu.
Kedua adalah gerakan politik modern. Gerakan ini terjadi melalui mobilisasi elit serta dibarengi massa, sehingga peran elit sebagai pemimpin tidak lagi dominan. Fungsi gerakan ini pada umumnya untuk membagi kekuasan, antara rezim yang sedang berdiri dengan gerakan yang sedang berlangsung.
Berikutnya merupakan politik posmodern di mana aksi protes muncul dari inisiatif individu-individu yang berarti tidak terdapat satu individu maupun kelompok yang dominan dalam rangka menyatakan protesnya. Pada umumnya aksi ini dilakukan untuk mendapatkan otonomi atas daerahnya.
Dari ketiga jenis gerakan politik yang ada, menurut hemat penulis aksi warga Chechnya terhadap tindakan represif Rusia dapat digolongkan sebagai gerakan politik pramodern karena bertujuan untuk mengkudeta kekuatan Rusia dari wilayah Chechnya dan juga karena gerakan politis dimotori oleh beberapa aktor elit.
Setiap gerakan politik yang terjadi hampir tak bisa dilepaskan dari adanya kekerasan komunal. Klinken (2007) melihat gerakan komunal yang menimbulkan kekerasan dilakukan untuk mengusir atau mengalahkan kelompok lawan yang dilukiskan sebagai kekuatan asing juga berbahaya. Bertolak dari pendapat Klinken, kekerasan komunal bisa dikategorikan sebagai konflik politik dengan 5 proses utama, yaitu:
Pembentukan identitas komunal – berkaitan dengan ikatan yang terjalin dalam konteks in group
Pergeseran skala (eskalasi) – menjelaskan peningkatan dan penambahan aktor dalam suatu kelompok identitas
Polarisasi - meluasnya persaingan politik
Mobilisasi – mempunyai kaitan dengan cara mendulang masa
Pembentukan aktor – menyatukan komunal yang sebelumnya tak terorganisir menjadi satu kesatuan aktor politik
3. Pembahasan
Chechnya merupakan negara kecil bekas otonomi Rusia yang membentang di lereng utara Pegunungan Kaukasus. Luas negara ini sekitar 15.000km2 dengan jumlah penduduk pada 1994 sebanyak 970.000 jiwa. Selain itu Etnis Chechen merupakan etnis terbesar dan juga sering menyebut diri mereka sebagai Ichkeria.
22 Agustus 1991 warga Chechnya tepatnya di kota Grozny berkumpul pada lapangan Sheikh Mansur untuk merayakan keruntuhan Soviet, akan tetapi tentara-tentara Rusia menginvasi negera kecil ini di bulan Desember tiga tahun setelah perayaan sehingga pertempuran pun tak bisa dielakan.
Kronologi Perang Chechnya-Rusia
Pasca mengetahui kejatuhan Uni Soviet, 6 September 1991 militan bersenjata di bawah kepemimpinan Dzokhar Dudayev menyerbu pemerintahan komunis di kota Grozny. Massa memaksa masuk ke dalam ruang persidangan Partai Komunis Soviet dengan tujuan menyatakan Chechnya sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Aksi ini sekaligus menandai terbentuknya pasukan Garda Nasional Chechnya udengan tujuan menggantikan pasukan Republik Otonomi Chechen-Ingush (saat masih di bawah pemerintahan Uni Soviet).
Satu bulan kemudian Dudayev terpilih sebagai Presiden dan memproklamasikan kemerdekaan Chechnya sertan mengemukakan pemisahan diri dari Federasi Rusia. Namun deklarasi kemerdekaan Chechnya kemudian membawa perpecahaan internal tersendiri. Dalam rentan tahun 1991 sampai 1994 terjadi rentetan konflik internal antara pendukung Dudayev dan kubu oposisi yang mendukung Federasi Rusia.
Di akhir tahun 1993, pemerintahan Rusia yang melihat celah lantaran perpecahan dalam tubuh Chechnya mengambil langkah strategis berupa pembentukan Dewan Penyusun Undang-Undang Sementara guna mengambil alih kekuasaan yang dipegang Dudayev sekaligus membentuk pemerintahan tandingan. Satu tahun setelah pembentukan dewan, kubu oposisi yang dibantu oleh pasukan Rusia melakukan serangan bersenjata dengan dilengkapi kendaraan lapis baja serta helikopter perang Rusia. Tetapi lantaran serangan mendadak oposisi tidak terorganisir dengan baik maka hasilnya pun kurang memuaskan.
Bertolak dari ketidakpuasan terhadap pasukan oposisi, militer Rusia menyerbu Chechnya dengan dasar alibi pemulihan terhadap pemerintahan Dudayev yang mengalami krisis akibat banyaknya serangan terhadap beliau dan pasukannya. Rusia melakukan serangan darat non-stop dari tiga arah kota Grozny yang dipimpin langsung oleh Kolonel Jenderal Eduard Vorobyov. Tetapi tentara Rusia yang langsung dipimpin oleh seorang Jenderal bukan berarti tanpa kekurangan. Pasukan Rusia yang diutus ke medan pertempuran rata-rata belum cukup pengalaman dan masih muda serta di pihak Chechnya sendiri terkenal dengan mobilitasnya yang tinggi. Terbukti menurut seorang pejuang Chechnen bernama Hussein Ikshanaov, 200 personil Federasi Rusia tewas dan 50 personil lainnya menyerah karena terdesak. Selain itu kurangnya pengalaman tentara Rusia dapat terlihat dari gaya penyerangan yang membabi-buta serta tergesa-gesa sehingga menyebabkan banyak warga sipil yang menjadi korban jiwa.
Pertempuran Grozny (31 Desember 1994 – 8 Februari 1995)[13]
Berdasarkan pengamatan intelejen Rusia, Grozny dijaga oleh 10.000 kombatan dan dipimpin oleh Aslan Maskhadov. Peralatan tempur yang dimiliki Chechnya pun sebagian besar merupakan peninggalan Uni Soviet dan yang lainnya adalah hasil penjarahan dari tentara Rusia yang kalah perang. Tetapi data yang dimiliki Rusia justru sangat jauh dari keadaan nyata. Menurut Ilias Akhmadov, Chechnya hanya memiliki 450 personil Garda Nasional sementara yang lain hanya pejuang lokal yang tergerak untuk membantu personil reguler.
Menjelang awal tahun 1995 pasukan Rusia telah mempersiapkan penggempuran besar-besaran terhadap Grozny. Alat-alat berat militer sudah dikirim dan pasukan mata-mata disebar guna mencari informasi penting untuk memperluas kesuksesan penyerbuan. Setelah persiapan dipikir cukup, pukul 05.00 subuh 31 Desember 1994 pasukan Rusia mulai membombardir Grozny diawali dari kilang-kilang minyak. Pasukan Rusia menggunakan bantuan udara sehingga serangan yang datang terkesan tidak tepat sasaran dan tersebar, yang kemudian berimbas pada jatuhnya korban sipil. Tidak heran memasuki hari baru pada 1995 salah satu korps pimpinan Letnan Jederal Lev Rokhlin berhasil menembus Grozny dari arah utara.
Di lain sisi, Rusia menuai resiko yang besar akibat keterlambatan Jenderal Petruk menyuplai bantuan dari arah barat sehingga resimen Rifle bermotor kalah dari pejuang Chechnya dan harus mundur. Dikatakan sebagai resiko besar dikarenakan Rusia yang telah merangsek masuk ke Grozny tidak mendapat kabar kekalahan personilnya di Barat ditambah lagi permainan gerilya Chechen yang bermobilisasi tinggi. Alhasil pasukan Rusia terkepung serangan segala arah di pusat Grozny oleh Garda Nasional yang bergerilya dengan senjata terbatas.
Pertempuran di Kota Grozny sendiri paling tidak terjadi dalam 3 pembabakan waktu. Pertama ialah seperti yang telah diuraikan. Pertempuran ini berlangsung dari 31 Desember 1994 sampai 3 Januari 1995. Kedua terjadi pada 4 sampai 17 Januari 1995. Pertempuran ini berhenti saat Rusia berhasil merebut Istana Kepresidenan Dudayev dan sebagian kota Grozny. Babak terakhir meledak dari 17 Januari sampai 8 Februari 1995 yang berakhir dengan dikuasainya Grozny secara utuh dan eksodus militan Chechen ke pegunungan Kaukasus pada selatan Chechnya.[14]
Jagal Besar
Sesudah pusat pemerintahan dan komando pasukan Chechnya di kota Gozny berhasil direbut, kombatan-kombatan Chechen terpaksa melarikan diri ke pegunungan dan mengatur strategi perlawanan baru. Strategi yang dimaksud kemudian tidak lagi strategi perang kota, melainkan dengan bergerilya di hutan-hutan pegunungan Kaukasus. Kondisi ini diperparah dengan ketidakpuasan Rusia setelah berhasil merebut Grozny, sehingga para tentara Rusia masih terus melancarkan serangan demi memburu pejuang Chechen yang tersisa.
15 April 1995, Rusia mengutus 200 sampai 300 kendaraan perang berlapis baja guna penyerangan ke daerah-daerah yang masih berada di bawah kekuasaan Chechnya, alhasil daerah-daerah tersebut satu-persatu berjatuhan ke dalam Federasi Rusia. Penyerangan yang terjadi pun terlihat sangat brutal. Sebagai contoh, tentara Rusia menggunakan cluster bomb kepada warga sipil di kota Shali pada 3 Januari 1995 dikarenakan ketidakmampuan tentara mengidentifikasi pejuang Chechen dan warga biasa.[15] Warga sipil yang menjadi korban tidak dapat mengindari tindakan penyiksaan, perampokan, serta lebih dari itu pembantaian secara masal.
Kemudian ada satu tempat yang menjadi fokus penulis dalam rangka melihat pelanggaran HAM berat oleh Rusia. Tempat tersebut ialah Samashki. Pembantaian besar-besaran terjadi pada 7-8 April 1995 di bawah komando Jenderal Anatoly Kulikov yang dimulai saat penyisiran dengan tujuan memusnahkan Ras Chechen. Disebut sebagai pemusnahan ras sebab tindakan militer yang brutal menewaskan lebih dari 200 warga sipil baik dikarenakan pemerkosaan maupun penyiksaan luar biasa.[16]
Gambar 1 Tentara Rusia melempar mayat-mayat Chechen, Subiakto (2010)
Perjanjian Damai Khasav-Yurt
Pasca pembantaian atau dapat disebut sebagai usaha genosida di desa Samashki dan daerah-daerah lainnya, pasukan-pasukan oposisi Dudayev kemudian berubah haluan sehingga membantu pasukan Chechen melawan perlakuan sewenang-sewang Rusia. Selain bantuan dari pasukan oposisi, gerakan-gerakan untuk berjihad sangat gaung dibunyikan. Etnis Chechen yang notabenenya dominan pemeluk Islam mendapat bantuan lebih dari 5.000 pasukan dari kaum muslim di sekitar Kaukasia seperti, Dagestan, Georgia, Abkhazia, Ingushetia, dan Azeria. Bantuan juga datang dari Turki, Slavia, Negara Baltik, serta Arab dan Iran. Kumpulan massa dari berbagai negara dengan tujuan berjihad lalu melakukan penyergapan di dekat kota Shatoy. Mereka melakukan aksi pada 16 April 1996 sehingga menghancurkan resimen-resiman bermotor Rusia. Singkatnya pasukan gabungan berhasil memaksa Rusia melakukan perundingan tanggal 31 Agustus 1996. Perundingan dilakukan oleh Alexander Lebed dan Aslan Maskhadov yang pada akhirnya berhasil menghentikan Perang Chechnya I. Hasil yang didapat antara lain pembentukan pasukan penjaga keamanan gabungan (Chechnya-Rusia), demiliterisasi tentara Federal dari wilayah Chechnya, dan pengakuan terhadap kemerdekaan Republik Islam Chechnya.
Invasi Militer Rusia dan Kejatuhan Republik Islam Chechnya
Lebih kurang Perang Chechnya-Rusia meletus akibat konflik Dagestan. Konflik itu sendiri dilatarbelakangin tindakan represif Rusia kepada umat muslin Dagestan dalam rangka melarang penerapan pemerintahaan syariat dan sampai pada akhirnya Pemimpin umat di kawasan Dagestan bernama Bagauddin Magomedov di akhir tahun 1997 meminta bantuan Chechnya. Peperangan menjadi semakin keruh di mana Oktober 1999 Perdana Menteri Rusia, Vladimir Putin membatalkan perjanjian damai dengan tidak mengakui Chechnya sebagai negara berdaulat.
Klaim Putin terhadap Chechnya memuncah beberapa bulan setelah klaim terhadap Chechnya. November 1999 pemerintah Federal Rusia menyatakan telah menguasai 80% kota Grozny dan menewaskan lebih dari 5.000 warga sipil. Adapun fakta bahwa Rusia sudah menguasai Grozny berlanjut pada pengepungan 5 Desember 1999. Bantuan udara Rusia membombardir Grozny setelah sebelumnya hanya memperbolehkan orang tua di atas 60 tahun dan anak-anak di bawah 10 tahun untuk eksodus. Dengan kata lain kehancuran Grozny sama dengan kuburan bagi sebagian besar warga Chechnya yang tak diperbolehkan mengevakuasi diri.
Kehancuran kota, kematian penduduk dewasa, dan kekalahan pejuang Chechnya dari alutsista Rusia pada akhirnya mengantarkan Republik Islam Chechnya pada kejatuhan. Mei 2000 Vladimir Putin ang telah menjadi Presiden Rusia mendeklarasikanbahwa sepenuhnya Chechnya telah menjadi bagian dari federasi dan melantik Akhmad Kadyrov sebagai Presiden Chechnya.[18]
Politik Identitas dan Perang Chechnya
Sejalan dengan pendapat berbagai ahli mengenai pembentukan politik identitas yang disebabkan oleh persamaan nasib seperti tindak diskriminasi yang dilakukan kepada suatu kelompok sosial tertentu. Sama halnya dengan realita yang terjadi pada penduduk Chechnya yang mana palig tidak mendapatkan diskriminasi akibat dua hal, yaitu etnis dan agama. Rusia sebagai negara besar yang pada awalnya membawahi daerah otonomi Chechnya di masa Uni Soviet. Pada aspek etnisitas, Etnis Chechen yang merupakan minoritas di Rusia secara keseluruhan sering dijadikan objek diskriminasi oleh Etnis Rusia, selain itu agama juga menjadi salah satu faktor kuat tumbuhnya identitas politik Chechnya. Muslim Chechen mengalami diskriminasi segera setelah transmigrasi penduduk Moksow dan kota besar di Rusia ke Chechnya sehingga terjadi tindak imperialisme dan secara simultan memarginalkan penduduk asli.
Etnis Chechen dan Etnis Rusia
Stigma negatif bahwa Ras Kaukasus khususnya etnis Chechen sebagai masyarakat yang ‘liar’ dan tidak terjamah telah tumbuh sejak tahun 1980an ketika banyak warga pegunungan Kaukasus yang bermigrasi ke Rusia saat masa Soviet.[19] Stigma negatif kemudian memuncah pada pertengahan tahun 1990an ketika peperangan Chechnya terjadi dengan menjamurnya golongan anti-kaukasus akibat propaganda pemerintah Rusia. Etnis Chechen yang menuntut haknya sebagai penduduk pribumi untuk menentukan nasib sendiri dituding sebagai tindakan terorisme.
Tindakan terorisme menurut propaganda Rusia menguat saat rakyat Chechnya berjuang di bawah pimpinan Dzokar Dudayev. Dudayev adalah mantan Jenderal Pasukan Udara Soviet yang pada akhirnya mengundurkan diri setelah diperlakukan secara diskriminatif karena dituduh berasal dari etnis Chechen. Dalam cakupan yang lebih luas, petani Chechen tidak lagi berhak memiliki tanah karena dipaksa oleh pemerintahan komunis untuk bekerja pada ladang milik mereka. Melihat banyak keutungan yang didapatkan, orang-orang berhaluan komunis dari Rusia berbondong-bondong berdatangan dan menciptakan koloni baru di kota-kota Chechnya.
Dari semua perlakuan diskriminasi, apa bila sejarah ditarik ke belakang, maka paling tidak kejadian pendeportasian massal merupakan pemicu terbesar bangkitnya politik identitas Chechnya.Berawal dari perang dunia kedua dengan tentara Nazi, Chechen dituduh Moskow sebagai kaki tangan Jerman. Berangkat dari tuduhan ini, semua penduduk laki-laki beserta keluarganya dipaksa keluar dari Chechnya menggunakan kereta yang penuh sesak saat musim dingin.
Islam dan Imperialisme Rusia
Sheikh Mansur telah menjadi simbol perlawanan umat muslin Chechnya selama lebih dari 200 tahun. Beliau terlahir di utara Grozny dan tumbuh sebagai seorang muslim taat yang berbakat menjadi pemimpin.[20] Pada 1780an Mansur memimpin pasukan berbendera Islam untuk berjihad merebut kembali Chechnya dari Rusia, akan tetapi pemerintahan Soviet kala itu menyebarkan kabar kematian pemimpin Islam tersebut. Kabar yang datang spontan memicu kemarahan besar penduduk Kaukasus. Kemarahan rakyat ditangkap oleh Sheikh Shamil yang berhasil memimpin perlawanan atas imperialisme Rusia dari rentan tahun 1830 sampai 1859.[21]
4. Penutup
Menjawab dua pertanyaan awal mengenai identifikasi dan bagaimana politik identitas sebagai motif peperangan Chechnya-Rusia, maka penulis menyimulkan beberapa hal:
Perang Chechnya-Rusia digolongkan sebagai gerakan politik pramodern karena aksi perlawanan dipelopori oleh seorang pemimpin yang berjiwa kepahlawanan menurur penduduk asli Chechnya sendiri, seperti Sheikh Mansur dan Sheikh Shamil, selain itu juga Dudayev sebagai pemimpin perang pasca pengunduran dirinya dari kemiliteran Soviet.
Mengutip pendapat Klinken mengenai kekerasan komunal yang mengakibatkan konflik politik, proses peperangan Chechnya-Rusia juga tidak terlepas dari 5 tahapan konflik. Pertama ialah pembentukan identitas komunal Chechnya setelah mengalami berbagai diskriminasi. Kedua peningkatan skala konflik yang dapat terlihat dari perjuangan berbagai kota bahkan seluruh penduduk Kaukasus dalam rangka membantu Chechnya keluar dari kekerasan oleh Rusia. Ketiga merupakan polarisasi kekuatan, di mana terbagi menjadi pemerintahan Moskow dan pemerintahan Garda Perlawanan Republik Chechnya dipimpin oleh Dudayev. Berikutnya adalah mobilisasi dan pembentukan aktor yaitu mendulang massa serta mengorganisirnya. Realita ini tergambar saat peperangan kota Grozny, yang mana Chechnya mencari bantuan seluruh umat Muslim Kaukasus lalu meregulasi mereka pada peperangan Grozny secara gerilya.
Perang Chechnya dan Rusia terjadi pada dua babak yang diakhir dengan aneksasi total Rusia terhadap Chechnya setelah genosida di kota Grozny.
Politik identitas Chechnya berasal dari kesamaan nasib yang dalam hal ini karena penindasan dan diskriminasi terhadap etnis Chechen dan umat muslim.
CATATAN KAKI
[1] Ari Subiakto, Perang Chechnya (Yogyakarta: InterpreBook, 2010), hlm. 9
[2] Ibid, hlm 11
[3] Diakses di http://www.mhhe.com/Enviro-Sci/CaseStudyLibrary/Topic-Based/CaseStudy_OilAndTheWarInChechnya.pdf, pada 28 Novemver 2016
[4] Dapat diakses melalui http://plato.stanford.edu/entries/identity-politics/
[5] Dalam http://thesis.umy.ac.id/datapubliknonthesis/PNLT824.pdf
[6] Jurnalnya dapat diakses di http://legalleft.org/wp-content/uploads/2015/09/1UNB053-Ford.pdf
[7] Dapat diakses di https://www.sheffield.ac.uk/polopoly_fs/1.71447!/file/2jenkins.pdf
[8] Sri Buchari, Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 19
[9] Diakses di https://tspace.library.utoronto.ca/retrieve/132/Def_DimofEthnicity.pdf, pada 21 November 2016
[10] Philip Q. Yang, Ethnic Studies: Issues and Approaches (New York: State University of New York, 2000), hlm 40 atau melalui link: http://gato-docs.its.txstate.edu/jcr:f28bdce8-36e0-40bc-8f9b-02b6e7a431d8/Theories%20of%20Ethnicity.pdf
[11] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam (Bandung: Nuansa, 2010), hlm 227
[12] Informasi yang lebih luas dapat diakses di http://thesis.umy.ac.id/datapubliknonthesis/PNLT824.pdf
[13] Ari Subiakto, Perang Chechnya (Yogyakarta: InterpreBook, 2010), hlm. 37
[14] Dikutip dari http://mercury.ethz.ch/serviceengine/Files/ISN/128856/ichaptersection_singledocument/0a841936-e2ad-4f9f-a9b1-3ee6ae547756/en/99_02_07.pdf, pada 29 Oktober 2016
[15] Ari Subiakto, Perang Chechnya (Yogyakarta: InterpreBook, 2010), hlm. 91
[16] Dikutip dari tulisan Tomas Goltz dalam https://www2.gwu.edu/~ieresgwu/assets/docs/demokratizatsiya%20archive/06-01_goltz.pdf, diakses pada 30 Oktober 2016
[17] Ari Subiakto, Perang Chechnya (Yogyakarta: InterpreBook, 2010), hlm. 162
[18] Informasi mengenai Akhmad Kadyrov bisa diakses di http://www.ecfr.eu/article/commentary_ramzan_kadyrov_a_challenge_to_the_kremlin3013
[19] Emil Souleimanov, dalam: http://www.watchdog.cz/?show=000000-000015-000006-000014&lang=1
[20] Dikutip dari http://www.watchdog.cz/?show=000000-000015-000006-000015&lang=1 pada 28 November 2016
[21] Ari Subiakto, Perang Chechnya (Yogyakarta: InterpreBook, 2010), hlm 16
DAFTAR PUSTAKA
Buchari, Sri Astuti. 2014. Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia
DiMeglio, Richard P., dkk,. 2012. Law Of Armed Conflict Deskbook. Virginia: The Judge Advocate General’s Legal Center And School
Ford, Richard Thomson, dalam: http://legalleft.org/wp-content/uploads/2015/09/1UNB053-Ford.pdf
Haboddin, Muhtar. Menguatnya Politik Identitas Di Ranah Lokal. Malang: Universitas Brawijaya, dalam: http://thesis.umy.ac.id/datapubliknonthesis/PNLT824.pdf
Isajiw, Wsevolod W., 1992. Definition And Dimensions of Ethnicity: A Theoretical Framework. Universitas Toronto, dalam: https://tspace.library.utoronto.ca/retrieve/132/Def_DimofEthnicity.pdf
Jenkins, Richard. The Limits Of Identity: Ethnicity, Conflict, and Politics. Inggris: Universitas Sheffield, dalam: https://www.sheffield.ac.uk/polopoly_fs/1.71447!/file/2jenkins.pdf
Schacht, Joseph. 2010. Pengantar Hukum Islam. Bandung: Nuansa
Subiakto, Ari. 2010. Perang Chechnya. Yogyakarta: InterpreBook
Van Klinken, Gerry. 2007. Communal Violence and Democratization In Indonesia. New York: Routledge
Yang, Philip Q., 2000. Ethnic Studies: Issues and Approaches. New York: State University of New York, dalam: http://gato-docs.its.txstate.edu/jcr:f28bdce8-36e0-40bc-8f9b-02b6e7a431d8/Theories%20of%20Ethnicity.pdf
http://www.mhhe.com/Enviro-Sci/CaseStudyLibrary/Topic-Based/CaseStudy_OilAndTheWarInChechnya.pdf
http://www.watchdog.cz/?show=000000-000015-000006-000015&lang=1
Souleimanov, Emil. dalam: http://www.watchdog.cz/?show=000000-000015-000006-000014&lang=1
https://www2.gwu.edu/~ieresgwu/assets/docs/demokratizatsiya%20archive/06-01_goltz.pdf
http://www.ecfr.eu/article/commentary_ramzan_kadyrov_a_challenge_to_the_kremlin3013
http://mercury.ethz.ch/serviceengine/Files/ISN/128856/ichaptersection_singledocument/0a841936-e2ad-4f9f-a9b1-3ee6ae547756/en/99_02_07.pdf
http://plato.stanford.edu/entries/identity-politics/
http://thesis.umy.ac.id/datapubliknonthesis/PNLT824.pdf
http://legalleft.org/wp-content/uploads/2015/09/1UNB053-Ford.pdf
Lal Sudhanshu, Kunwar. Human Rights In Chechnya And Islam. Dalam: http://www.inter-disciplinary.net/at-the-interface/wp-content/uploads/2014/09/lalmultipaper.pdf
E. Kremer, Andrew. Islamic Battalions, Stocked With Chechen, Aid Ukraine In War With Rebels. Dalam :
http://www.nytimes.com/2015/07/08/world/europe/islamic-battalions-stocd-with-chechens-aid-ukraine-in-war-with-rebels.html?_r=0
Svirina, Ekaterina. 2007. Xenophobia And Racism In Russia: How The Russian Media Potray “Out-Groups”. Washington, D.C.: American University