Merayakan Multikulturalisme Indonesia: Dari Belis Sampai Ninik Mamak
![](https://static.wixstatic.com/media/88062d_30deb4de87e64b1e9d6644d62545f290~mv2.jpg/v1/fill/w_737,h_921,al_c,q_85,enc_auto/88062d_30deb4de87e64b1e9d6644d62545f290~mv2.jpg)
Belum ada negara yang sampai saat ini mampu mengalahkan keberagaman kultural di Indonesia. Indonesia memiliki banyak adat istiadat, agama dan aliran kepercayaan, serta kesenian dan kerajinan tangan dari berbagai suku bangsa. Badan Pusat Statistik tahun 2015 mencatat terdapat 30 suku bangsa dan 1 kelompok bangsa asing – setiap suku bangsa mencakup suku-suku kecil lainnya. Sebagai contoh suku bangsa Jawa meliputi Suku Osing, Tengger, Jawa, Samin, Bawean dan sebagainya – sedangkan pada jenis keberagaman yang lain seperti agama Indonesia memiliki enam agama resmi dengan Islam sebagai agama dengan pemeluk terbanyak, akan tetapi agama-agama kesukuan juga mengambil tempat dalam rangka menyemarakkan keberagaman itu sendiri, misalnya di Nusa Tenggara Timur (NTT) masih terdapat kepercayaan Halaik di Pulau Timor dan Marapu di Pulau Sumba.
Di sisi lain keberagamaan Indonesia tercermin dalam sistem kekerabatan dan adat istiadat perkawinan. Pada dimensi kekerabatan, jelas negara ini sangat kental dengan budaya patrialinel. Artinya, dominasi kaum laki-laki masih sangat kuat pada sendi-sendi sosial budaya, garis keturunan, akses ekonomi, politik dan pemerintahan. Pada lingkup sosial budaya, kedudukan laki-laki seakan memiliki stratifikasi yang lebih tinggi dibanding perempuan, sehingga tidak heran interaksi sosial hampir selalu mengutamakan laki-laki dan perempuan berfokus pada urusan-urusan domestik, begitupun dengan budaya yang mana turut andil dalam melegitimasi superioritas laki-laki. Nilai budaya yang melegitimasi superioritas laki-laki misalnya hak atas warisan pada umumnya jatuh kepada anak laki-laki karena para orang tua berasumsi anak perempuan saat menikah akan meninggalkan rumah dan ikut suaminya.
Pada garis keturunan sudah barang tentu menggunakan marga ayah yang diterapkan di berbagai suku bangsa, tetapi yang lebih ironi ialah peran perempuan di dunia perekonomian, politik dan pemerintahan yang relatif kurang, bahkan di era modern seperti saat ini. Data dari World Bank (2014) menunjukan akses perempuan pada pekerjaan di berbagai kategori pendapatan selalu lebih rendah dari laki-laki, begitupun pada perpolitikan dan pemerintahan. Indonesia sebagai negara yang termasuk beruntung karena pernah memiliki perempuan sebagai Presiden, tetapi bukan berarti segaris lurus dengan jumlah partisipasi perempuan pada pemerintahan. BPS (2014) menunjukan rasio penduduk Indonesia berdasarkan jenis kelamin yaitu 101, maksudnya ialah di sekitar 101 laki-laki selalu ada 100 perempuan. Data ini dapat menjelaskan jumlah perempuan yang hampir sama dengan jumlah laki-laki. Sayangnya jumlah partisipasi perempuan di parlemen tidak lebih dari 15%.[2]
Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki cara yang beragam untuk merayakan atau bahkan menyambut perkawinan, ada yang menyambut perkawinandengan memberikan roti berbentuk buaya, memainkan petasan tradisional, memberikan kapur sirih dan lain sebagainya. Dari kesemua adat tersebut, penulis melihat kesamaan besar, yakni lazimnya, mempelai keluarga laki-laki yang datang dan memberikan simbol-simbol perkawinan pada keluarga perempuan. Dengan kata lain, laki-laki bertugas melamar perempuan dan keluarganya, sedangkan di sisi lain perempuan berperan menerima atau menolak lamaran tersebut. Budaya seperti yang telah dijabarkan paling tidak sama dengan budaya belis di Nusa Tenggara Timur. Budaya belis merupakan simbol penghargaan pada wanita dengan memberikan sejumlah barang yang diinginkan keluarga mempelai perempuan. Pada zaman dahulu, simbol tersebut diwakilkan dengan pemberian moko (nekara perunggu) dari pihak mempelai laki-laki atau pada daerah lain di NTT mempelai perempuan meminta belis (dapat disebut sebagai mas kawin) gading gajah yang sangat sulit ditemukan.
Berbanding terbalik dengan perkawinan di Minangkabau, Sumatera Barat. Tradisi perkawinan dimulai saat mempelai perempuan datang dan memberikan buah tangan kepada keluarga mempelai laki-laki,[3] adapun budaya ninik mamak yang membedakan Minangkabau dengan mayoritas daerah di Indonesia yang berkiblatkan patrilineal.
Kemudian yang menjadi tujuan besar penulis ialah mengetahi budaya belis di Nusa Tenggara Timur dan budaya ninik mamak di Minangkabau sehingga mendapatkan pengetahuan utuh, bukan saja mengenai keberagaman, tetapi keberagaman yang saling melengkapi walaupun terkadang bersifat antagonis (budaya mengikuti tempat dimana berada sehingga nilai-nilai yang muncul saling kontradiksi).
Multikulturalisme
Caleb Rosado (1997) menjelaskan multikulturalisme adalah suatu sistem dari kepercayaan dan perilaku yang menyadari dan menghargai keberadaan kelompok yang beragam dalam sebuah organisasi atau masyarakat, mengakui dan menghormati perbedaan-perbedaan sosio-kultural, dan mendorong dan bersedia berkontribusi di dalam konteks kultur yang inklusif yang mana memberdayakan organisasi atau masyarakat di dalamnya. Sejalan dengan pandangan Rosado, International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA)[4] merumuskan multikulturalisme ialah keadaan hidup saling berdampingan di antara perbedaan budaya, di mana budaya tersebut termasuk rasial, agama, atau kelompok-kelompok kultural yang dimanifestakian ke dalam kebiasaan tertentu, adat istiadat, gaya berkomunikasi dan nilai-nilai.
Menjadi menarik ketika Pemerintah Australia ikut serta mendefinisikan multikulturalisme dalam website resminya. Menurut Australia, multikulturalisme berarti, kita semua mempunyai kebutuhan dan keinginan; kita mempunyai kesukaan dan ketidaksukaan. Kita berbeda, tetapi tidak ada yang salah dan mengancam dari perbedaan tersebut. Kita semua mencari kehidupan yang lebih baik untuk diri kita sendiri dan generasi masa depan dan tidak ada tempat untuk mentalitas "kita dan mereka" dalam masyarakat, hari ini atau di masa yang akan datang.[5]
Berdasarkan berbagai definisi mengenai konsep multikulturalisme, penulis menangkap pengertian multikuluralisme sebagai suatu kondisi pengakuan akan keberagaman dalam satu lingkup masyarakat sehingga tidak adanya eksklusifitas kelompok tertentu pada kelompok-kelompok lainnya.
Patrilineal & Matrilineal
Sederhananya, patrilineal merupakan suatu sistem penurunan riwayat keluarga berdasarkan garis darah pria, di samping itu terdapat sistem matrilineal. Matrilineal bukan merupakan lawan dari patrilineal karena pada masyarakat matrilineal bukan hanya berkaitan dengan garis keturunan, melainkan akses kepada kegiatan ekonomi, kemandirian perempuan, dan akses untuk menyebarkan pengaruh atau kekuasaan.[6] Ditegaskan oleh Karla Poewe (1981) dalam bukunya “Matrilineal Ideology: Male-Female Dynamics in Luapula, Zambia” bahwa masyarakat matrilineal mencakup sistem yang lebih luas, seperti ideologi kekerabatan, politik-ekonomi dan interaksi gender.
Budaya Belis
Belis sebagai salah satu tradisi yang menjadi persyaratan pada perkawinan-perkawinan di daerah Nusa Tenggara Timur pada umumnya, saat ini menuai banyak pertentangan.[7] Dewasa ini penulis melihat pertentangan akibat budaya belis terjadi karena adanya pergeseran makna. Makna belis sebagai lambang filsafatis muncul dari nilainya sebagai pengikat atau pemersatu dua mempelai dan dua klan. Belis sendiri banyak dipengaruhi oleh kepercayaan Marapu. Menurut kepercayaan Marapu, di saat seorang manusia, khususnya wanita berpindah dari satu tempat untuk menetap di tempat lainnya ketika menikah, maka tempat asalnya akan mengalami kekosongan. Kekosongan seperti itulah yang wajib ditutupi mempelai laki-laki mealuli belis, sehingga terjadi keseimbangan, namun hal yang kemudian disayangkan ialah belis di mana dulunya dipakai karena nilai filsafatisnya kemudian bergeser ke arah materialistis, kira-kira seperti itu yang dilihat oleh penulis mengenai praktek belis dewasa ini di Nusa Tenggara Timur. Di tahun-tahun sekitar 1950 belis lebih condong kepada utang piutang. Ketika seorang anak perempuan lahir, maka pada umumnya anak tersebut sudah dijodohkan dengan anak dari keluarga lainnya dan untuk mengikat perjodohan tersebut maka keluarga laki-laki biasanya telah memberikan belis sebagai jaminan dewasa nanti anak perempuan yang bersangkutan harus menikahi si pemberi belis.[8]
Sejauh pengetahuan penulis, tradisi dan praktek belis di Nusa Tenggara Timur tersebar di hampir di seluruh daerah yakni di Sumba, Timor, Rote, Manggarai, Sikka, dan Maumere. Belis yang identik dengan perkawinan membagi perkawinan itu sendiri ke dalam beberapa tahapan menurut budaya di Maumere, Kabupaten Sikka, yang berdasarkan hemat penulis tidak jauh berbeda di daerah-daerah lainnya. Tahapan tersebut yaitu, persiapan belis, pengantaran belis dan persiapan perkawinan, namun tahapan akhir yaitu perkawinan lebih kurangnya sama seperti perkawinan biasa di berbagai daerah di Indonesia, sehingga penulis hanya akan berfokus pada dua tahap awal[9]
Tahap pertama yaitu persiapan, disebut sebagai tahap wae ara matang atau duduk bersila dan saling berhadapan dalam bahasa Indonesia. Di tahap ini kedua belah pihak keluarga mempelai duduk untuk membahas jumlah belis yang harus dipenuhi sebagai persyaratan perkawinan dari mempelai perempuan. Pihak-pihak yang terlibat dalam perundingan umumnya berasal dari tiga kategori. Pertama keluarga mempelai laki-laki dari ayah, keluarga mempelai laki-laki dari ibu dan om atau paman. Kedua adalah pembawa barang atau antaran, biasanya berupa hasil bumi (buah-buahan) dan kue. Ketiga merupakan seorang pemuda yang bertugas membawa tuak dan seekor ayam jantan. Sebagai keterangan tambahan, jumlah keluarga mempelai pria yang datang untuk mempersiapkan pembelisan biasanya berjumlah ganjil sebagai harapan akan digenapi dengan kehadiran gadis yang akan dipinang (dalam istilah di beberapa daerah di NTT dipinang disebut juga maso minta / masuk minta).
Tahapan berikutnya sebelum pesta perkawinan adalah antaran belis. Keluarga mempelai dari pihak laki-laki datang ke rumah mempelai perempuan dan membawa mas kawin atau belis sesuai kesepakatan awal, apabila belis yang datang tidak sesuai dengan kesepakatan, maka perkawinan bisa saja ditunda. Di lain sisi, apabila belis yang diantar sudah sesuai permintaan, maka pihak perempuan akan membalas dengan memberikan empat ekor babi dan seekor kambing jantan. Empat ekor babi menjadi tanda empat malam (gumang hutu) dan seekor kambing disediakan bagi mereka yang tidak makan babi (biasanya berasal dari keluarga muslim.
Terlepas dari kontroversinya mengenai nilai yang sangat mahal untuk disanggupi, tradisi belis di Nusa Tenggara Timur tidak bisa dilepaskan dari dominasi laki-laki atas perempuan. Dominasi ini diejawantahakan menjadi peran laki-laki atau calon suami untuk menghargai perempuan dengan simbol antaran belis. Tradisi belis kemudian menjadi legitimasi laki-laki untuk meperlakukan perempuan (isterinya) dengan cara-cara kekerasan karena mereka menganggap perempuan tersebut telah terbayarkan saat prosesi belis.[10]
Matrilineal Minangkabau[11]
Budaya Indonesia yang sudah dibangun sejak lama menjadikan wilayah nusantara samangat patriarki atau patrilineal. Laki-laki mendominasi hampir semua sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. dalam konteks bermasyarakat dan bernegara bisa terlihat begitu jelas dari tatanan RT sampai Presiden sebagai pemimpin negara, yang mana sudah menjadi barang umum ketua RT ialah seorang laki-laki paling bijaksana di kompleknya, hampir mustahil menemui ketua RT perempuan, begitupun pada jenjang-jenjang lainnya sampai kepada Presiden, yang mana walaupun Megawati pernah mejabat sebagai Presiden RI, tetapi jabatan beliau sebenarnya juga meneruskan Abdurrahman Wahid karena beliau tidak menghabiskan masa jabatan secara penuh.
Tradisi seperti belis yang menyiratkan superioritas pun menjadi salah satu alasan negara ini sangat patrilineal, tetapi menjadi menarik ketika tidak hanya Indonesia, bahkan dunia yang sangat maskulin masih menyisahkan tempat bagi tumbuhnya kebudayaan matrilineal. Lebih menakjubkan ketika kebudayaan matrilineal yang tumbuh di Indonesia sekaligus menjadi masyarakat matrilineal terbesar di dunia.[12]
Dalam hubungan kekerabatan di Tanah Minangkabau yang matrilineal, terjadi ciri dari peran dan fungsi perempuan yang berbeda dari tempat-tempat lainnya di Indonesia. paling tidak ciri tersebut meliputi penentuan keturunan dari riwayat ibu; suku bersumber dari garis ibu; kekuasaan dipegang ibu; tata cara perkawinan bersifat matrilokal, artinya suami masuk ke rumah isteri; dan warisan menjadi hak perempuan.
Cerminan matrilineal Minangkabau secara gambang dapat ditelisik dari istila bundo kanduang serta budaya ninik mamak. Bundo kanduang atau ibu kandung/sejati merupakan simbol dari kebijaksanaan dan kebajikan perempuan dalam memimpin. Selain dari pada itu, bundo kanduang mengandung paling tidak dua nilai makna. Pertama, bundo kanduang merujuk pada kepribadian, yakni perempuan Minagkabau didorong untuk menghormati atau bahkan menjadikan dirinya sebagai Kartini[13]. Kedua, bundo kanduang merupakan institusi yang memiliki akses kepada kekuasaan sehingga dapat menjadi pemimpin Minangkabau.
Ninik mamak
Sebagai suatu konsep utama kebudayaan dan tradisi Minangkabau, ninik mamak[14] memainkan peran penting, bukan hanya sebagai otoritas tertinggi dari hubungan gender, harta dan rumah. Ninik mamak adalah ibu dari semua kebiasaan dan tradisi serta sebagai agen yang membantu kekuasaan perempuan.[15]
Tanah Miangkabau sejatinya melebihi aset produksi, melainkan secara tradisional merupakan tanak suci bagi nenek moyang sehingga muncul istilah kampung halaman. Segaris lurus dengan tradisi kampung halaman, Tanah Minangkabau sekaligus gudang bagi warisan matrilineal dalam konteks kekuasaan perempuan dan sosio-ekonomi. Tanak mewakili ibu atau mamak yang berjiwa keibuan dan meilndungi anak-anaknya (penduduk Minangkabau). Berlandasakan sejarah panjang seperti inilah ninik mamak sebagai istrumen mendamaikan dan mengatur klan/marga yang tersebar di Minang.
Menjadi pertanyaan berikutnya, apabila tanah merupakan kepemilikan perempuan, lalu bagaimana dengan laki-laki Minang? Laki-laki Minang seakan ditakdirkan untuk merantau dan mencari penghidupannya sendiri terlepas dari kampung halaman. Hegemoni dari perempuan menciptakan migrasi besar-besaran walaupun pada kenyataannya, tidak serta merta budaya Minang menharuskan migrasi tersebut.[16] Teringat akan sistem kerja semut, perempuan Minang seakan menjadi Ratu yang bertugas memimpin koloni sehingga mengharuskannya tetap menempati sarang yang menjadi pusat semua koloni, sedangkan di satu sisi, laki-laki Minang diharuskan meninggalkan sarang dan mencari makanannya, namun tentu saja sistem matrilineal Minangkabau tidak sesederhana relasi antara ratu dan koloni semut.
Akhirnya, gagasan utama dari ninik mamak tidak hanya mengenai konsep tali kekerabatan, tetapi lebih dari pada itu ninik mamak mencakup ide politik yang mengikat semua laki-laki dari sisi ibu dan saudara perempuan. Singkatnya, secara tradisional, laki-laki sebagai pelayan keluarga dan klan (seperti semut pekerja) namun tidak memiliki hak atas kontol sumber ekonomi (tanah milik perempuan) dan warisan.
Belis dan Ninik mamak
Belis dan ninik mamak sebagai bagian dari multikulturalisme Indonesia pada kenyataannya memiliki pertentangan-pertentangan karena perbedaan historis dan budaya. Budaya belis sebagai cerminan dunia NTT yang begitu patriarki berbanding terbalik dengan ninik mamak yang memberikan hak penuh bagi perempuan dalam kerangka masyarakat matrilineal. Perbedaan kedua budaya ini paling tidak direfleksikan pada upacara perkawinan dan hak waris.
Seperti yang telah dijelaskan, upacara perkawinan di NTT yang masih menggunakan belis cenderung menjadikan laki-laki sebagai aktor sentral yang wajib menghargai perempuan, lalu diwujudnyatakan ke dalam simbol-simbol seperti nekara perunggu, gading gajah, maupun perhiasan perak. Berdasarkan pengalaman penulis tumbuh dalam budaya belis selama hampir 20 tahun, beberapa keluarga mempelai perempuan meminta gading gajah dikarenakan nilainya yang langka dan jauh (mengingat tidak ada spesies gajah di NTT). Kelangkaan dan jauhnya gading gajah mengisyaratkan nilai perempuan yang tak terhingga serta harus diperjuangkan oleh mempelai laki-laki. Menjadi ironi, ketika nilai makna yang terkandung dalam belis berubah menjadi nilai materialistis terutama semenjak dikenalnya uang sebagai alat tukar. Nilai pada gading gajah yang langka lama-kelamaan tergerus uang yang menurut hemat penulis hanya memiliki satu makna, yaitu instrumen penukar itu sendiri. Fenomena ini kemudian tidak mengherankan saat kasus kekerasan kepada perempuan meningkat karena belis tadi. Laki-laki merasa telah membayar perempuan dari keluarganya, sehingga perempuan menjadi ‘propertinya’.[17] Berbeda dengan belis, adat ninik mamak yang begitu kental di Tanah Minang berimplikasi pada peran perempuan yang besar saat upacara perkawinan. Apabila di Sikka mempelai laki-laki yang memberikan antaran, maka di Minangkabau perempuan yang berkunjung ke rumah mempelainya untuk membawa buah tangan serta ijin menikah.
Realitas mengenai hak waris di NTT juga tidak jauh berbeda dengan prosesi belis. Laki-laki mendapat hak yang besar atas peninggalan dan properti keturunan. Laki-laki mendapatkan warisan ebih besar, karena tradisi mengasumsikan suatu saat nanti ketika menikah, seorang perempuan akan meinggalkan keluarganya dan bergabung dengan suaminya, sehingga kepemilikan dari perempuan tadi dialihkan kepada laki-laki. Berbeda dengan ninik mamak, implikasi dari warisan dan hak atas tanah untuk perempuan – walaupun bukan satu-satunya faktor – ialah migrasinya laki-laki untuk mencari kekayaan lain di luar Tanah Minang.
Kesimpulan
Sejalan dengan definisi awal multikulturalisme sebagai pengakuan akan keberagaman, maka sejauh pengamatan penulis keberagaman Indonesia secara utuh dapat dilihat dari bagaimana perbedaan-perbedaan antara belis dan ninik mamak yang pada dasarnya saling bertentangan, tetapi mampu menempati wilayah yang sama. Wilayah Indonesia. Pada akhirnya, perbedaan-perbedaan yang ada, dari Sabang sampai Merauke setidaknya bisa dengan lega merayakan multikulturalisme serta keberagaman.
“Merayakan perbedaan sama pentingnya dengan mempertahankan Indonesia sebagai negara yang utuh, karena persatuan tidak harus menjadi sama.”
CATATAN KAKI
[1] Mahasiswa pada Mata Kuliah International Relations & Multiculturalism
[2] Dikutip dari https://www.selasar.com/politik/rendahnya-angka-partisipasi-perempuan-di-parlemen-mengapa pada 4 Desember 2016
[3] Dikutip dari http://pekanbaru.tribunnews.com/2015/07/03/mari-mengenal-tradisi-pernikahan-khas-minang pada 4 Desember 2016
[4] Dapat diakses melalui http://www.ifla.org/publications/defining-multiculturalism
[5] Dikutip dari http://www.multicultural.sa.gov.au/ pada 4 Desember 2016
[6] Informasi lebih lanjut mengenai matrilineal dapat diakses melalui http://sociologyindex.com/patrilineal_descent.htm
[7] Seperti pada berita yang diterbitkan Surat Kabar Merdeka edisi 25 Februari 2015, yang mana harga belis bisa mencapai Rp 40 juta bahkan Rp 150juta. Dapat diakses di https://www.merdeka.com/peristiwa/tradisi-belis-budaya-mencekik-leher-warga-ntt.html
[8] Dikutip dari http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6410/2/PROS_Yanuarius%20Lende%20W,%20Wahyu%20P_Pergeseran%20Makna%20Belis_fulltext.o.pdf pada 4 Desember 2015
[9] Disadur dari http://www.inimaumere.com/2010/01/persiapan-pembelisan-pengantaran-belis.html pada 4 Desember 2016
[10] Handayani, Tien., dkk. 2016. Peran Hukum Dalam Penyelesaian Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Di Kupang, Atambua, dan Waingapu. Jurnal Hukum & Pembangunan. 46 No 2, hlm 233-255; Depok
[11] Fatimah, Siti. Gender Dalam Komunitas Masyarakat Minangkabau; Teori, Praktek & Ruang Lingkup Kajian. Jurnal Ilmiah Kajian Gender. Dapat diakses di: http://www.kafaah.org/index.php/kafaah/article/download/53/26 dan Davidson, S. Jamie & David Henley. 2007. The Rivival Of Tradition In Indoensia: The Deployment Of Adat From Colonialism To Indigenism. Oxon: Routledge
[12] Dikutip dari http://www.bbc.com/indonesia/karangan_khas/vert_tra/2016/10/160927_vert_tra_minangkabau pada 4 Desember 2016
[13] Penulis menggunakan terma Kartini untuk menjelaskan R. A. Kartini yang menjadi motor emansipasi dan kepemimpinan Perempuan di Indonesia.
[14] Ninik mamak dalam bahasa Indonesia berarti Mama Kepala
[15] Wiyomartono, Bagoes. 2014. Perspectives on Traditional Settlements and Communities: Home, Form and Culture In Indonesia. Singapore: Springer. Hlm 117
[16] Ibid, hlm 117-118
[17] Berita dapat diakses di http://divperempuantruk.or.id/berita-4-TRUK-Gelar-Diskusi-.htm
DAFTAR PUSTAKA
Davidson, S. Jamie & David Henley. 2007. The Revival Of Tradition In Indoensia: The Deployment Of Adat From Colonialism To Indigenism. Oxon: Routledge
Fatimah, Siti. Gender Dalam Komunitas Masyarakat Minangkabau; Teori, Praktek & Ruang Lingkup Kajian. Jurnal Ilmiah Kajian Gender. Dapat diakses di: http://www.kafaah.org/index.php/kafaah/article/download/53/26
Handayani, Tien., dkk. 2016. Peran Hukum Dalam Penyelesaian Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Di Kupang, Atambua, dan Waingapu. Jurnal Hukum & Pembangunan. 46 No 2, hlm 233-255; Depok
http://pekanbaru.tribunnews.com/2015/07/03/mari-mengenal-tradisi-pernikahan-khas-minang
http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6410/2/PROS_Yanuarius%20Lende%20W,%20Wahyu%20P_Pergeseran%20Makna%20Belis_fulltext.o.pdf
http://sociologyindex.com/patrilineal_descent.htm
http://www.bbc.com/indonesia/karangan_khas/vert_tra/2016/10/160927_vert_tra_minangkabau
http://www.ifla.org/publications/defining-multiculturalism
http://www.inimaumere.com/2010/01/persiapan-pembelisan-pengantaran-belis.html
http://www.multicultural.sa.gov.au/
https://www.merdeka.com/peristiwa/tradisi-belis-budaya-mencekik-leher-warga-ntt.html
https://www.selasar.com/politik/rendahnya-angka-partisipasi-perempuan-di-parlemen-mengapa
Wiyomartono, Bagoes. 2014. Perspectives on Traditional Settlements and Communities: Home, Form and Culture In Indonesia. Singapore: Springer