Serba-Serbi Pencitraan
![](https://static.wixstatic.com/media/88062d_6952f8b7ee504370828715fb7ae60464~mv2.jpg/v1/fill/w_923,h_1154,al_c,q_85,enc_auto/88062d_6952f8b7ee504370828715fb7ae60464~mv2.jpg)
“Hell is other people.”
– Jean-Paul Sartre
Pada suatu sore di jalanan antara gang-gang sempit, seorang pemuda sedang bermain sepak bola bersama beberapa anak Sekolah Dasar yang juga adalah tetangga-tetangganya. Tanpa pemuda tersebut sadari (sebut saja Tino) Dina yang adalah teman sekaligus orang yang dia sukai secara diam-diam berjalan mendekatinya untuk membeli gula di seberang jalan tempat Tino dan anak-anak kecil bermain. Sesaat setelah Tino menyadari kedatangan Dina, ia langsung mengambil handphone dari saku celananya lalu berpura-pura menjawab panggilan masuk yang entah dari mana datangnya. Tino bermaksud agar tak terlihat kekanak-kanakan di depan Dina, sekaligus menunjukan bahwa ia adalah orang penting yang sering mendapatkan panggilan telephone. Tino berharap ia mendapatkan impresi baik di hadapan Dina.
Ilustrasi tersebut mungkin pernah terjadi secara utuh, pun dengan sedikit perbedaan kondisi. Namun, pusatnya ialah pada sikap Tino yang berusaha membentuk citra tertentu di depan orang lain agar terkesan baik sesuai ekspektasinya. Menjadi pertanyaan kemudian, apa sebenarnya citra? Umumnya citra adalah gambaran ataupun imitasi dari suatu bentuk pribadi atau benda. Citra atau yang dalam bahasa Inggris image pertama kali digunakan pada abad ke-14.[1] Citra merupakan kata yang sangat cair, karena memiliki makna yang berbeda-beda sesuai di mana kata tersebut di tempatkan. Contohnya, pada bidang bisnis, citra diartikan sebagai pandangan masyarakat mengenai suatu produk, merek atau perusahaan. Bertolak dari pengertian tersebut, berbagai jenis badan usaha secara terus-menerus bersaing demi meraih citra terbaik dari perspektif konsumen. Usaha tersebut bisa dalam bentuk mengiklankan produk, juga membangun kualitas pegawai. Bahkan tak jarang pencitraan dalam dunia bisnis tidak diikuti dengan peningkatan kualitas barang keluaran, tetapi dengan menutupi keburukan yang ada.[2] Sedangkan pada bidang sosial, citra menurut hemat penulis adalah pandangan tentang diri sendiri dengan mempertimbangkan penilaian publik atau lingkungan berkaitan dengan mana yang baik dan tidak sesuai moral dan aturan yang berlaku. Definisi citra dari sisi sosial ini sejalan dengan pemikiran Bandura (1986) bahwa citra merupakan apa yang orang-orang pikirkan, percayai dan rasakan serta pada akhirnya mempengaruhi bagaimana suatu individu bertindak.[3] Berdasarkan fenomena-fenomena terkait pencitraan, maka ada baiknya mengetahui apa, bagaimana, kapan dan mengapa pencitraan tersebut terjadi.
Berangkat dari pemikiran Bandura, pencitraan tidak bisa terjadi dengan hanya melibat satu individu pada suatu ruang dan waktu yang sama pula. Artinya, pencitraan dapat disebut pencitraan apabila dilakukan dalam suatu lingkup atau kumpulan individu karena seseorang tak perlu mencitrakan hal-hal baik apabila hanya orang tersebut yang ada. Adapun pencitraan datang dari hasil pemikiran dari apa yang dipercayai dan rasakan. Dengan kata lain, pencitraan terjadi melalui proses kognisi di mana seseorang membayangkan perihal tindakan yang akan dilakukan dan apa respon publik setelahnya. Dari konklusi ini, penulis melihat adanya hubungan tindakan dengan 2 hal, yaitu kognisi dan lingkungan – sosial.
![](https://static.wixstatic.com/media/88062d_0aad184e5d2946b9b7a9294e10fdbdca~mv2.jpg/v1/fill/w_417,h_276,al_c,q_80,enc_auto/88062d_0aad184e5d2946b9b7a9294e10fdbdca~mv2.jpg)
Berikutnya menjadi jelas, bahwa pencitraan terjadi bukan tanpa sebab musabab yang kabur, melainkan merupakan suatu proses panjang kognisi dan observasi lingkungan berdasarkan pengalaman bersentuhan dengan kelompok masyarakat. Lebih detil, pencitraan terjadi ketika suatu individu berada bersama individu lainnya, persis seperti pernyataan Sartre bahwa, “neraka adalah orang lain”. Maksudnya adalah kebebasan seseorang akan dibatasi ketika orang lain datang. Seseorang tidak benar-benar bisa menjadi diri sendiri ketika ada kehadiran entitas lain. Dengan kata yang lain, dapat dibilang seseorang tidak melakukan pencitraan hanya ketika berada sendiri di kamar, tidur atau sudah meninggal.
Demi mendapatkan visualisasi yang lebih jelas, ada anekdot yang sekiranya tepat dalam menggambarkan pencitraan bisa terjadi ketika datangnya entitas lain di tahap yang paling sederhana. Suatu kali ada seseorang yang berada di kamar sendirian. Karena dia sendiri, maka dia memutar lagu dengan keras lalu bergoyang sesuka dia. Dia melompat-lompat sambil mengayunkan bajunya. Semua dilakukan sendirian sehingga dia merasa sangat bebas. Lalu beberapa saat kemudian, dia menyadari ada orang lain yang mengintip dari balik lubang kunci. Seketika itu juga, dia langsung menghentikan goyangan dan memakai kembali baju yang tadi dilepaskannya. Hal yang serupa juga dapat terjadi ketika kita menyadari ada orang lain yang mengintip ketika lagi mandi atau ketika sedang melakukan hal-hal yang dianggap sebagai privasi atau konsumsi sendiri. Kebebasan yang tadinya sangat luas, menjadi sempit dengan keharusan menampilkan citra positif di depan orang lain.
Pertanyaan yang kemudian menjadi isu sentral ialah, mengapa harus pencitraan? Dapat dikatakan pencitraan merupakan suatu bagian dari bentuk pertahanan manusia, atau self-defense. Pencitraan berjalan beriringan dengan kognisi. Semakin berkembang kognisi manusia dalam konteks analisis lingkungan, maka semakin beragam pula pencitraan yang dipantulkan. Seorang ibu rumah tangga yang hampir 24 jam di rumah untuk mengurusi dapur dan sebagainya tentu memiliki cara pencitraan yang berbeda dari seorang perempuan yang menjadi direktris di perusahaan besar dengan berbagai bawahan atau bahkan partner kerja dari perusahaan lain. Pun berbeda antara bayi dengan orang dewasa. Ini menunjukan pencitraan tumbuh bersama manusia itu sendiri. Pencitraan bukan sesuatu yang hanya dibuat-buat tetapi lebih dari pada itu berakar sepanjang hidup manusia.
Adapun dalam konteks bersosial, manusia memiliki banyak sekali citra, baik itu ketika bersosial dengan atasan, sahabat, musuh, bahkan terhadap orang terdekat. Lagi, apabila merujuk pada pencitraan sebagai bentuk pertahanan manusia, maka wajar apabila pencitraan dipakai sebagai tudung untuk menyelamatkan citra baik. Segaris lurus dengan itu, bahkan seorang sastrawan kenamaan, Leo Tolstoy (1882) menulis buku berjudul A Confession yang mana memperlihatkan puluhan kali Tolstoy melakukan percobaan bunuh diri, tetapi naluri kemanusiaannya selalu menghindarinya dari bahaya. Begitupun dengan pencitraan yang dipakai sebagai alat melindungi suatu individu dari keadaan yang kurang menguntungkan.
Dari semua penjabaran, bisa dilihat bahwa pencitraan bukan hanya hal yang bersifat gimik sementara, tetapi merupakan suatu perjalanan panjang untuk mengindari manusia dari keadaan yang kurang baik bagi diri sendiri. Apalagi dengan maraknya penggunaan media sosial, beberapa teman sering menyatakan “ah, paling cuma pencitraan” atau dengan menyatakan ketidaksenangannya pada politisi tertentu dengan memposting “politisi itu mah cuma di mulut saja, pasti hanya pencitraan”. Pernyataan seperti itu agaknya kurang tepat, karena pada dasarnya semua orang sedang dan terus-menerus melakukan pencitraan sepanjang hidupnya, selagi masih hidup berdampingan di dalam ranah sosial. Baik atau tidaknya orang bisa dikatakan tergantung pada seberapa pandai orang tersebut memancarkan citra dan memainkan perannya ketika berada bersama orang-orang.
“Akhirnya, menjadi benar bahwa dunia ini hanya panggung sandiwara.”
[1] https://www.merriam-webster.com/dictionary/image
[2] Nonton film dokumenter “Food, Inc.”
[3] https://www.uky.edu/~eushe2/Pajares/eff.html