Sifon: Mengungkap Phallusentris dalam Tradisi Suku Atoni Meto
![](https://static.wixstatic.com/media/88062d_17728573d61c49ea939c8d9cb7b15e25~mv2.jpg/v1/fill/w_980,h_654,al_c,q_85,usm_0.66_1.00_0.01,enc_auto/88062d_17728573d61c49ea939c8d9cb7b15e25~mv2.jpg)
Indonesia dikenal dengan tradisi yang beragam dan unik. Dari banyaknya ragam tradisi itu, banyak tradisi-tradisi yang gaungnya tidak terdengar. Sifon adalah salah satunya. Tradisi sifon merupakan salah satu bagian tradisi sunat tradisional yang dilakukan secara turun menurun oleh Masyarakat Atoni Meto atau dikenal pula sebagai suku Atoni Meto di Nusa Tenggara Timur (NTT). Meski jarang diketahui, tradisi ini terus dijaga oleh Masyarakat Atoni Meto yang dikenal dengan karakteristiknya dalam menjaga ritus keagamaan asli[1]. Sifon merupakan hubungan seksual yang dilakukan oleh laki-laki dewasa[2] setelah disunat dengan kepercayaan dan tujuan untuk menyembuhkan sunatnya dan membuang penyakit serta sial dari laki-laki yang telah disunat. Salah satu persyaratan dalam sifon adalah laki-laki yang disunat tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinya, calon istrinya, ataupun kerabat dekat[3] sebab perempuan yang melakukan sifon dipercaya telah menerima “panas” dari lelaki yang sunat dan tidak boleh lagi melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang sama. Suku Atoni Meto percaya bahwa "panas" yang dimaksud adalah penyakit atau hal yang membawa sial. Selain itu, panas yang dimaksud disini mengacu pada ‘pendinginan panas bumi’ dan memohon untuk kesuburan alam. Sifon sendiri merupakan ritual yang dilakukan berkisar tiga minggu setelah sunat.
Asal-muasal tradisi ini berangkat dari ritual pengorbanan manusia, tapi terjadi pergeseran budaya. Ritual pengorbanan manusia sudah lama ditinggalkan dan digantikan dengan tradisi sifon. Tradisi sifon dilakukan didasari oleh kepercayaan suku Atoni Meto yang mana menempatkan penis sebagai sebuah 'alat vital' pencipta kehidupan. Tradisi ini dilakukan pada saat musim panen karena kejantanan laki-laki yang tercermin dari 'penis' merupakan representasi permohononan masyarakat akan kesuburan alam dan kelancaran panen. Oleh karena itu, tradisi sifon menjadi penting bagi suku Atoni Meto di NTT.
Dalam tradisi suku Atoni Meto, para laki-laki menolak proses penyunatan sejak masa kanak-kanak karena adanya kepercayaan bahwa hal itu dapat menyebabkan impoten dan tidak sehat. Tradisi yang biasanya dilakukan saat musim panen ini, bisa memakan waktu hingga tiga minggu atau sebulan. Setidaknya tradisi sunat tradisional ini, termasuk di dalamnya ritual sifon, memiliki beberapa fungsi bagi Masyarakat Dawan yakni fungsi kesuburan, fungsi sosial budaya, dan fungsi maskulinitas, Tradisi ini dilakukan oleh tukang sunat yang disebut ahelet. Tugas ahelet adalah memastikan sunat sudah sesuai dengan adat mereka. Sifon memegang peranan penting dalam urutan sunat tradisional. Terdapat keyakinan di masyarakat jika sifon tidak dilakukan, akan menyebabkan disfungsi dari alat kelamin laki-laki, seperti impoten atau ejakulasi dini.
Para ahelet menekankan bahwa bagian terpenting adalah penis tercelup dalam cairan vagina, tidak perlu berkali-kali penetrasi, dan tidak boleh mengeluarkan sperma saat sedang berhubungan seksual, sebab bila terjadi, disinyalir dapat mengakibatkan ejakulasi dini. Menurut para laki-laki yang telah melakukan sifon, biasanya penis mereka membengkak berair sehingga sulit untuk melakukan penetrasi ke dalam vagina dan menimbulkan rasa sakit serta bengkak tersebut akan pecah saat di dalam vagina. Namun semua bengkak dan luka sunatan akan sembuh total pasca sifon. Tradisi ini dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan kemampuan seksual laki-laki dan menjadikan laki-laki menjadi seorang “laki-laki sejati”.[4] Tradisi ini dipercaya dapat melanggengkan pernikahan, dalam artian meningkatkan kualitas hubungan seksual suami-istri. Oleh karena itu, para laki-laki, bahkan perempuan Atoni Meto, tidak keberatan dengan adanya tradisi ini.
Tradisi ini membutuhkan seorang perempuan yang dijadikan perantara untuk diberikan "panas" yang dipilih langsung oleh ahelet. Dalam praktiknya, ahelet memiliki nama-nama perempuan yang selalu digunakan menjadi perantara. Perempuan yang ikut melakukan sifon disyaratkan tidak bersuami, sebab bila hal tersebut dilanggar, berarti melanggar hukum adat perkawinan. Perempuan yang diajak sifon juga harus perempuan yang sudah pernah melakukan hubungan seksual, sehingga tidak kesulitan saat proses sifon. Oleh sebab itu, kebanyakan perempuan yang melakukan sifon adalah janda dan perempuan tua yang ditinggal suaminya. Namun dalam perkembangannya, pekerja seks komersial (PSK) juga dijadikan medium dalam sifon.
Tradisi ini kemudian diperdebatkan karena dianggap menjadi medium penularan penyakit seksual, terutama setelah pekerja seks komersial (PSK) juga dijadikan medium dalam sifon. Tradisi ini membawa dua dampak, yaitu dampak kesehatan seperti yang disebutkan di atas serta dampak sosial di mana perempuan yang dijadikan medium dikucilkan oleh sekitarnya. Kepercayaan suku menyatakan bahwa perempuan pasangan seksual saat sifon dipercaya menerima “hawa panas” berupa penyakit kelamin dan menyakit kuning. Hampir semua perempuan yang pernah melakukan sifon menderita penyakit kelamin. [5] Oleh karena itu, ahelet terkadang melakukan sifon dengan janda-janda atau perempuan tua untuk meminimalisir terjadinya penularan penyakit menular seksual. Hal inilah yang kemudian menjadi pertanyaan besar terhadap tradisi ini?
Dalam tradisi sifon, perempuan menjadi pihak yang dirugikan. Hal ini menyebabkan tradisi seakan-akan menempatkan perempuan dalam posisi inferior. Hal ini dapat dilihat dari beberapa unsur yang merugikan perempuan baik dari sisi kesehatan maupun sosial, yaitu: terdapat unsur yang menganggap perempuan sifon sebagai obyek untuk membuang hal-hal buruk dari laki-laki ("hawa panas" yang diberikan pada perantara), unsur hubungan seksual di luar pernikahan (demi keharmonisan rumah tangga yang mengarah pada konsep "laki-laki sejati"), unsur memberi imbalan kepada perempuan sifon (esensi perempuan dibatasi sekadar 'komoditas' yang dapat ditukarkan), serta unsur penularan penyakit menular seksual (PMS).
Masalah kesehatan jadi acuan utama tradisi ini dihentikan. Perempuan disinyalir hanya menjadi objek dan menjadi korban bila terjadi penularan PMS yang kerap terjadi lewat sifon. Laki-laki yang melakukan sifon dengan PSK, dapat dengan mudah menularkan PMS kepada istrinya, dan hal itu dianggap tidak lagi efektif untuk dilakukan pada masyarakat NTT saat ini. Dulu, perempuan suku Atoni Meto menganggap tidak dirugikan ataupun direndahkan apabila suami melakukan sifon sebelum menikah. Namun hal ini berubah seiring waktu. Redefinisi tradisi sifon dianggap tidak lagi relevan dengan kepercayaan Suku Atoni Meto. Ketika dulu, budaya yang berkembang juga membuat sifon bukan sesuatu yang melanggar, selama tidak dilakukan dengan perempuan yang bersuami, sekarang budaya itu ditinggalkan perlahan karena dampaknya yang dianggap merugikan perempuan suku Atoni Meto.
Tidak hanya masalah kesehatan, penempatan perempuan sebagai objek untuk meletakkan "hawa panas", serta pembatasan esensi perempuan sebagai komoditas dalam sebuah prosesi memperlihatkan dengan nyata Phallusentris yang berkembang di kepercayaan masyarakat suku Atoni Meto. Phallusentris adalah asumsi yang menempatkan 'penis' sebagai sentral dari perkembangan seksualitas. Secara langsung, sifon menempatkan perempuan sebagai objek di mana konsep tubuh bukan lagi berada di ranah privat seperti seharusnya, melainkan ditempatkan di ranah publik. Tubuh perempuan menjadi sesuatu 'hal' yang dipolitisasi. Hal ini terlihat jelas dalam tujuan dilaksanakannya tradisi sifon.
Menarik kemudian melihat tradisi sifon dari kacamata kajian poskolonial, terutama dari kacamata subaltern. Istilah subaltern menjadi gambaran bagi kasus perempuan dalam tradisi sifon. Istilah subaltern didopsi dari pemikir Italia, Antonio Gramsci, pada awalnya merupakan istilah yang digunakan untuk “kelompok inferior” atau kelompok-keompok dalam masyakat yang tidak memiliki kekuasaan terhadap hegemoni dan menjadi subyek hegemoni oleh kelas-kelas yang berkuasa. Kelas subaltern adalah mereka yang tidak memiliki akses kepada kaum elite dan cenderung diabaikan.
Menurut Spivak, subaltern adalah subyek yang tertekan. Dalam hal ini, subaltern memiliki dua karakteristik, yakin adanya penekanan dan diskriminasi di dalamnya. Spivak juga menekankan bahwa kaum subaltern tidak dapat memahami keberadaannya dan tidak mampu menyuarakan kepentingannya. Subaltern juga tidak memiliki ruang untuk menyuarakan aspirasinya. Publik tidak menaruh perhatian terhadap “cerita” subaltern. Analogi yang cocok untuk menggambarkan subaltern adalah “orang yang tidak mendapat kue di kelas”. Dalam suatu kelas, terjadi pembagian kue. Semua orang mendapat kue, kecuali A dan B. Namun tidak ada yang mengetahui dan peduli bahwa A dan B belum mendapat kue. A dan B ini mencontohkan realitas kaum subaltern dalam kehidupan sehari-hari.
Karena tidak mampu berbicara, kaum subaltern membutuh kaum intelektual untuk mewakilkan dirinya. Hal ini menjadi tugas bagi kaum intelektual untuk merepresentasi kaum subaltern. Menurut Spivak, di berbagai tempat di dunia, sepanjang sejarah manusia, selalu ada orang-orang yang secara absolut tidak memiliki suara dan tidak dapat berbicara. Menurutnya selalu ada orang-orang yang dibungkam, sehingga perlu untuk tidak menjadi mayoritas yang bungkam, yang tidak bersuara.
Perempuan-perempuan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang suaminya melakukan tradisi sifon dan menjadi pasangan dalam sifon, menjadi kaum yang subaltern. Perempuan-perempuan ini tidak menyadari bahwa dirinya menjadi pihak yang dirugikan dalam tradisi sifon. Perempuan-perempuan ini melihat sifon sebagai tradisi yang menguntungkan dan perlu dilakukan sebagai bentuk patuh terhadap suami dan adat yang ada. Perempuan suku Atoni Meto tidak melihat sifon sebagai suatu pembatasan terhadap esensi mereka sebagai perempuan, dan objektifikasi keberadaan perempuan serta bentuk politisasi tubuh yang erat kaitannya dengan Phallusentris. Selain itu, perempuan suku Atoni Meto tidak menyadari bahwa ada kemungkinan tertular PMS. Perempuan yang melakukan hubungan seksual saat sifon juga tidak merasa bahwa dirinya direndahkan. Mereka dengan rela melayani laki-laki yang melakukan sifon dengan keyakinan bahwa ia akan mendapat berkah karena telah bersedia menjadi penghapus bala dan dosa orang lain. Padahal, perempuan sifon akan mengalami penderitaan fisik dan mental setelah melakukan tradisi tersebut. mereka mengalami tekanan psikologis yang hebat, dan tidak jarang menjadi gila.
Perempuan-perempuan yang terkait dengan tradisi sifon, baik dari istri atapun perempuan sifon, keduanya tidak menyadari keberadaannya, kerugian yang dialaminya, dan tidak mampu berbicara mengenai keadaannya. Para laki-laki melakukan sifon dengan tujuan menjaga ke-maskulinitas-nya dan menggunakan perempuan sebagai obyeknya, sedang perempuan melihatnya sebagai ajang taat pada budaya yang ada.
Gereja dan pemerintah daerah berusaha cukup gencar untuk menghapus tradisi ini dari tatanan Masyarakat Atoni Meto. Gereja dan pemerintah telah mendidik tukang-tukang sunat untuk melakukan sunat dengan peralatan yang steril dan melarang pelaksanaan sifon. Agaknya, upaya ini mulai menemui titik terang. Tradisi sunat tradisional, termasuk sifon, sudah dilarang aktivitasnya baik oleh pemerintah dan gereja. Sehingga sebagian besar generasi muda masyarakat Atoni Meto tidak melakukan tradisi ini lagi.
Megahari Nenohai, salah satu pemuda asal Atoni Meto, mengaku tidak tahu mendetail tentang tradisi ini. Ia dan teman-temannya hanya mendengar secara sekilas dari cerita orangtuanya dan mengetahui bahwa tradisi ini sepenuhnya dilarang. Meski sudah dilarang, namun menurutnya tradisi masih dilakukan meski sembunyi-sembunyi dan secara rahasia. namun melihat perkembangannya, tingkat pendidikan serta gerakan gereja dan pemerintah membuahkan hasil dan mampu mengurangi praktek sunat tradisional di Masyarakat Atoni Meto. Hal menarik lainnya justru berada pada redefinisi kembali tradisi sifon melalui kacamata adat suku Atoni Meto. Bagaimana masyarakat Atoni Meto dapat melihat ketidaksesuaian tradisi yang merugikan kaum perempuan sukunya, dan kemudian mengubahnya perlahan? Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, bagaimana masyarakat Atoni Meto mengganti tradisi sifon sebagai ritual yang dilaksanakan saat musim panen sebagai ungkap syukur serta permohonan terhadap alam apabila sifon tidak lagi dilakukan?
[1] Yoseph Yapi Taum, 2013, Sunat Ritual, Religiositas, Dan Identitas Kultural Orang Atoni Meto Di NTT diunduh melalui https://www.academia.edu/8106203/sunat_ritual_religiositas_dan_identitas_kultural_orang_Atoni Meto_di_ntt pada 5 Juni 2017 hlm. 17
[2] Biasanya telah memiliki istri dan anak
[3] Biasanya dilakukan dengan janda, perempuan tidak bersuami, pekerja seks komersial
[4] Purnawan, Sigit dkk, 2007, Kajian Hubungan Budaya Sifon (Ritual Hubungan Seks Pasca Sunat Tradisional Pada Beberapa Etnis Timor) Dengan Hak Perempuan Dan Pertumbuhan Penyakit Kelamin, MKM Vol. 02 No. 01 Juni 2007 hlm. 17
[5] op. cit