top of page

Pembangunan Korea Selatan Sebagai Serum Anti Kemiskinan & Kesenjangan

DenztrialCK


Latar Belakang Pembangunan berasal dari konsep 'modernity' yang mempengaruhi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Awalnya Eropa Barat yang melakukan modernisasi melalui industrialisasi, urbanisasi, dan perkembangan teknologi pada semua sektor ekonomi.[1] Perkembangan ini memengaruhi penyebaran budaya legalitas, sistem politik, dan pembangunan ekonomi di dunia akibat masa kolonialisasi yang dilakukan Eropa Barat. Berkembang dari konsep modernisasi yang kini dikenal dengan konsep pembangunan, World Bank menjadi salah satu organisasi internasional yang membentuk konsep pembangunan sebagai proses peningkatan perekonomian suatu negara yang dilihat melalui Gross National Product yang menjadi pengukur tingkat / kategori pembangunan negara di dunia. Dari proses ekonomi, pembangunan menyebar ke aspek kemanusiaan. United Nations Development Programme mengemukakan Human Development Index atau indeks pembangunan kemanusiaan. Dalam HDI ada tiga aspek, yaitu umur dan kesehatan, pengetahuan yang dilihat dari lulusan pendidikan formal dan jumlah orang dewasa yang melek huruf, serta kelayakan hidup yang dilihat dari Gross Domestic Product per kapita.[2] Dilihat dari definisi pembangunan, muncul konsep yang kita kenal dengan ‘kemiskinan’. Tujuan dari pembangunan adalah memberantas ‘kemiskinan’, namun tidak dapat dipungkiri karena adanya skala penentu yang menyebabkan ‘kemiskinan’ itu ada. Secara kuantitatif, ‘kemisikinan’ dilihat melalui angka yang ada di World Bank, namun secara kualitatif, ‘kemiskinan’ tidak ditentukan apa yang semua orang tentukan tetapi didasari oleh apa yang individu tidak ingin rasakan.[3] Sebagai contoh, pada tahun 2001 perekonomian Chili hanya ditingkat menengah namun memiliki Human Development yang ditingkat atas, dan perekonomian India berada di tingkat bawah namun memiliki Human Development ditingkat menengah.[4] Selain pembangunan dan kemiskinan yang mengalami perjalanan sejarah terminologi panjang, Korea Selatan juga mengalami beberapa fase panjang, yakni fase kuno, fase kolonialisasi, dan pasca kolonialisasi. Pada fase kuno, Korea merupakan wilayah dengan banyak kerajaan. Namun nama Korea diambil dari nama kerajaan Goryeo meskipun kerajaan terakhir adalah kerajaan Joseon. Perubahan Kerajaan Joseon menjadi Kekaisaran Korea terjadi karena terpaksa oleh kolonialisasi Jepang, namun keterlambatan terjadi dan membuat Korea mengalami fase kolonialisasi.[5] Urbanisasi pertama di Korea Selatan dilakukan oleh Jepang pada masa kolonialisasi. Investasi yang dilakukan Jepang di Korea Selatan berupa pabrik, sekolah, dan sistem transportasi modern.[6] Pada masa pasca kolonial, Korea Selatan mengalami kejatuhan akibat dari perang dengan Korea Utara. Pasca perang dengan Korea Utara menghancurkan hampir setengah dari kapasitas industri, sepertiga dari perumahan yang ada, serta banyak infrastruktur publik.[7] Jenderal Park Chung Hee diangkat menjadi Presiden pada tahun 1961. Presiden Park membuat Perencanaan Lima Tahun Pertama yang diimplementasikan dalam skala besar pada kebijakan ekonomi makro yang mengarahkan kestabilan harga, perdagangan bebas, dan promosi ekpor.[8] Setelah PELITA (pembangunan lima tahun) dilaksanakan satu periode, perekonomian Korea Selatan mengalami peningkatan dalam lima belas tahun berikutnya dan total GDP meningkat enam belas kali lipat pada tahun 1965 hingga 1980.[9] Berangkat dari naiknya Park Chung-hee kemudian penulis menitikberatkan pada masa ini dan masa setelahnya, yakni dari tahun 1961 hingga sekarang. Hal ini dikarenakan Park Chung-hee merupakan Presiden pertama yang dipilih langsung oleh masyarakat Korea Selatan, serta pada lain pihak merupakan simbol pembangunan yang terbuka – peralihan dari kebijakan substitusi impor ke export-oriented –, pun kebijakan rencana pembangunan lima tahun dan pendirian chaebol-chaebol berawal dari masa Chung-hee. Oleh karenanya tulisan ini berusaha untuk menggambarkan bagaimana pembangunan Korea Selatan menjadi serum anti kemiskinan dan kesenjangan. Teori Pembangunan Berawal dari sebuah kata pembangunan kita berangkat untuk memahami bagaimana pembangunan dapat berlangsung dan berjalan. Kata ‘pembangunan’ sendiri berawal dari kata ‘development’ yang sering digunakan pasca perang dunia ke dua misalnya saja negara barat Amerika Serikat yang menghawatirkan masa depan negara-negara yang baru merdeka agar tidak tertarik oleh blok Soviet. Teori pembangunan ini merupakan hasil dari usaha dari ilmuan-ilmuan sosial yang belajar dan merancang bagaimana cara untuk mempromosikan pembangunan ekonomi kapitalis dan stabilitas politik di negara-negara yang sedang berkembang.[10] Menurut Todaro (2008) istilah pembangunan digunakan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi-kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama. Teori pembangunan ini digunakan untuk mengetahui, bagaimana pembangunan yang berjalan di Korea Selatan sebagai serum anti kemiskinan dan kesenjangan. Diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapai Korea Selatan dalam pembangunan di negaranya. Menurut Peet dan Hartwick (2015: 1) beranggapan bahwa pembangunan merupakan sebuah alat yang menjadikan kehidupan menjadi lebih baik. Pemahaman berdasarkan menurut ahli yang sudah dijalaskan dapat kita cermati bahwasanya pembangunan itu merujuk pada pertumbuhan ekonomi, modernisasi dan perubahan sosial. Pembangunan sendiri merupakan sebuah proses usaha untuk mengintegrasi kehidupan yang lebih baik hal ini lebih berfokus pada negara-negara yang sedang berkembang untuk dapat mengintegrasikan perekonomiannya dengan adanya pembangunan. Kehidupan yang lebih baik itu diukur dari terpenuhinya kebutuhan dasar, mendapatkan pelayanan masyarakat terjangkau seperti pelayanan kesehatan, pendidikan dan sebagainya, dan mendapatkan hak yang sama dari negara. Berikutnya pembangunan sendiri memiliki ukuran-ukuran tertentu sehingga konsep pembangunan yang awalnya bersifat imaginer dan luas direduksi menjadi konkrit dan akuntabel. Ukuran dari pembangunan selanjutnya terus dikembangkan baik dari dalam negeri sampai luar negeri di antaranya ada Arief Budiman dan Ketie Willis – dalam bukunya Theories and Practices of Development.[11] Melalui pemikirnan Willis, muncul tiga indikator besar yang terkait dengan pembangunan, yaitu ekonomi (agar bisa memenuhi makanan dan tempat tinggal yang layak), humanitarian (terkait dengan mendapat kehidupan yang layak), serta lingkungan yang akan berdampak pada kehidupan yang sehat dan layak.

  • Ekonomi diukur dari GNI per kapita atau pendapatan per kapita dan Indeks Gini. GNI per kapita digunakan sebagai alat untuk mengukur total pendapatan rata-rata masyarakat suatu negara setiap tahunnya. Indeks Gini di sisi lain berfungsi sebagai penyeimbang dimana hal itu dilihat dari seberapa besar dari ketimpangan penghasilan per kapita dalam suatu ruang lingkup wilayah;

  • Humanitarian diukur dari seberapa besar angka harapan hidup di suatu wilayah, dengan rata-rata pendidikan dan daya serap ketenagakerjaan. Humanitarian terukur melalui HDI (Human Development Index). Dari semua ukuran tersebut yang berusaha menjelaskan indikator humanitarian atau kemanusiaan melalui hal-hal yang langsung bersangkutan dengan kualitas hidup manusia itu sendiri, seperti pendidikan, kesehatan, tingkat kemiskinan, penyebaran demografi, harapan hidup dan lain sebagainya;

  • Lingkungan, hal yang meliput dengan kualitas hidup seseorang, yang termasuk dalam indikator pembangunan yang sehat dan layak. Dilihat dari kelayakan lingkungan tersebut untuk dihuni seseorang. Melalui tingkat pencemaran lingkungan yang terjadi meliputi udara, air, dan tanah. Hal itu bersangkutan dengan kualitas hidup manusia atau seseorang itu sendiri.

Korea Selatan sebagai salah satu negara yang mengalami keajaiban pertumbuhan ekonomi di Kawasan Asia Timur bukan tak pernag mengalami masa-masa kelam dalam sejarah panjang negara tersebut. Segera setelah berakhirnya Perang Korea di tahun 1950an, Korea Selatan bahkan dinobatkan sebagai negara termiskin di dunia, yang mana pendapatan per kapita rakyatnya tidak lebih dari $100, atau lebih tepatnya $65 jika disetarakan pada nilai tukar dan inflasi tahun-tahun ini.[12] Kemudian di sisi lain, Korea Selatan berhasil memperbaiki secara perlahan-lahan pertumbuhan dan kesejahteraan negaranya melalui banyak cara. Cara-cara tersebut pada awalnya ialah dengan berhutang pada lembaga-lembaga internasional semisal International Monetary Fund (IMF) dan World Bank, lalu setelah berhutang Korea Selatan berusaha membangun kembali negaranya serta secara simultan berkutat mengembalikan hutan-hutang yang ada. Adapun Mkandawire (2014: 15) memberikan beberapa kondisi yang turut serta berkontribusi pada pembangunan Korea Selatan, yakni warisan konfusian, kolonialisasi oleh Jepang, peperangan dan perpecahan negara, reformasi tanah, homogenitas etnis, sumber daya alam yang rendah dan ketrgantungan pada bantuan asing. Beberapa hal tersebut kemudian memaksa Korea Selatan untuk membangun negaranya sehingga mampu berkompetisi atau paling tidak memenuhi kebutuhannya sendiri secara independen. Secara lebih spesifik, Korea Selatan pasca Perang Korea (1950-1953) di bawah pimpinan Park Chung-hee menginisiasi strategi pembangunan visioner demi kesejahteraan bersama. Lebih tepatnya, pada 1961 ketika Park Chung-hee dan para tentara memaksa rezim sebelumnya untuk turun dari pemerintahan, pembangunan secra progresif tumbuh, mengingat di akhir hidupnya, beliau mampu menaikan pendapatan per kapita Korea Selatan mencapai $1.500 di tahun 1979.[13] Untuk itu, selanjutnya penulis akan menjabarkan bagaimana pembangunan Korea Selatan dari negara termiskin di dunia pada pasca Perang Korea hingga menjadi salah satu raksasa perekonomian dunia.

Fase Pembangunan Korea Selatan Segera setelah Syngman Rhee menduduki bangku kepresidenan, kebijakan pembangunan paling terkenal ialah dengan mencanangkan Import Substitution Industrialization (ISI). Dengan kata lain, ISI ialah fase pertama dari pembangunan Korea Selatan sendiri. Berdasarkan penelusuran sejarah, Bruton (1989: 1602) menjelaskan pada awalnya ISI hadir sebagai salah satu kebijakan ekonomi di saat suatu negara miskin atau negara berkembang harus belajar dari negara maju yang telah menguasai pasar global, namun di sisi lain negara berkembang yang bersangkutan juga harus melindungi pasar domestiknya. Berangkat dari fenomena tersebut, ISI adalah suatu starategi kebijakan guna mendapatkan dua hal, yakni pelajaran dari negara maju dan pada saat yang bersamaan menjaga ekonomi dalam negeri dari gempuran pasar bebas atau barang yang masuk. Korea Selatan secara khusus menerapkan kebijakan ISI dikarenakan ketergantungnya pada barang-barang import – terutama untuk bahan-bahan material mentah – dan bantuan asing dari Jepang juga Amerika Serikat. Oleh karenanya untuk menekan biaya import, maka bidang-bidang lain diusahakan tidak membeli dari luar negeri, melainkan menggantinya dengan barang lain yang tersedia di dalam negeri. Adapun pada fase ini, pemerintahan berfokus guna membangun human capital dan infrastruktur untuk keperluan industrialisasi.[14] Apabila pada fase pertama, ISI bersifat inward-looking atau lebih berfokus untuk menata ekonomi domestik dan cenderung menutup dari dari pasar bebas, maka pada fase kedua Korea Selatan kemudian beralih pada export-oriented industrialization (EOI). EOI di Korea Selatan secara lebih spesifik terbagi menjadi dua bagian, yakni EOI yang berfokus pada komoditas ringan seperti agrikultur, perhutanan dan perikanan; lalu pada EOI bagian kedua Korea Selatan mulai merambah pada komoditas berat dan bahan kimia, semisal produk manufaktur, pertambangan, dan alat-alat konstruksi.[15]

Strategi Pembangunan Korea Selatan Layaknya tujuan umum dari pembangunan, yakni memajukan kesejahteraan umum dan lain sebagainya, Korea Selatan pun turut serta membangun negaranya guna menyeejahterakan masyarakat setelah seperti yang telah diketahui, negera yang bersangkutan sempat tertinggal jauh dari negara lain, bahkan tergolong sangat miskin dikarenakan peperangan antar dua negara di daratan Korea yang menghancurkan infrastruktur. Berangkat dari kehancuran infrastruktur dan kemauan untuk membangun, maka Korea Selatam mencanangkan dua strategi utama, yaitu mengatur tatanan makroekonomi dan di sisi lain menjaga sektor pembuatan kebijakan.[16] Pada tatanan makroekonomi, pemerintahan Korea Selatan berusaha untuk menciptakan suasana kondusif sehingga pembangunan dan investasi modal dapat nerjalan lancar. Untuk itu pemerintah berfokus guna membangun infrastruktur serta memastikan harga produk. Infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, listrik, transportasi dan sistem komunikasi diperbaiki secara maksimal. Di bawah pimpinan Presiden Park pada awal-awal rezim, investasi pada bidang transportasi paling dikedepankan sehingga tak heran lebih dari 60% dari total invenstasi diperuntukan bagi proyek-proyek infrastruktur, juga di antara 1962 dan 1966 proyek rel kereta menghabiskan 64,2% biaya pembangunan Korea Selatan.[17] Kemudian untuk lebih memahami strategi pembangunan Korea Selatan, maka penulis menyertakan tabel rancangan pembangunan lima tahun negara yang bersangkutan.[18]

Peran Chaebol Salah satu hal penting yang kemudian sulit untuk dilewatkan jika berbicara terkait pembangunan Korea Selatan ialah keberadaan dari chaebol. Chaebol sendiri diartikan sebagai kelompok keluarga tertentu yang secara independen menguasai perusahaan atau kelompok perusahaan serta mempunyai pengaruh besar bagi perekonomian di Korea Selatan. Chaebol berasal dari akar kata chae (財) yang artinya kekayaan atau keberuntungan, dan bol (閥) yang berarti kelompok.[19] Sejak Park Chung-hee memimpin dan beralihnya metode substitusi impor menjadi outward-looking, pemerintahan Korea Selatan memberikan kebebasan bagi pihak swasta untuk mengeksploitasi ekonomi, namun di sisi lain pemerintah juga turut serta memberikan modal di awal berdirinya. Dalam hal ini chaebol memainkan peran sebagai mesin pendorong pertumbuhan ekonomi Korea Selatan secara keseluruhan. Perusahaan-perusahan seperti Samsung, LG, Hyundai, Daewo dan lain sebagainya berperan penting pada perkembangan pembangunan ekonomi Korea Selatan. Fakta ini didukung oleh temuan yang mengindikasikan 30 perusahan saja mampu menghasilkan aset senilai $ 348.367 miliar – pada tahun 1997.[20] Selanjutnya, bagan di bawah ini bertujuan untuk memperjelas skema pertumbuhan ekonomi Korea Selatan serta hubungannya dengan chaebol.[21]

Skema di atas menunjukan bagaimana pemerintahan Korea Selatan mengucurkan dana untuk membiayai chaebol-chaebol, dengan estimasi chaebol tersebut akan menghasilkan komoditi ekspor dan di saat yang bersamaan membawa pertumbuhan ekonomi. Lalu pada sisi9 yang lain, chaebol diharapkan mampu menyerap tenaga kerja, bercabang pada usaha kecil dan menengah, menjadi sumber pemasukan dari luar negeri serta menjadi sumber keuangan dari hasil investasi pemerintah di awal. Skema yang dibangun pada akhirnya dirhitung sukses bila dilihat dari kontribusi 20 chaebol terbesar di Korea selatan yang menyumbang lebih dari 85% bagi Produk Domestik Bruto.[22]

Indikator Pembangunan Korea Selatan Willis mengukur pembangunan dari tiga sudut pandang, yaitu pembangunan sebagai proses ekonomi, pembangunan sebagai perbaikan manusia dan kondisi lingkungan – akan tetapi penulis hanya akan berfokus pada dua sudut pandang awal.[23] Dalam perspektif pembangunan sebagai proses ekonomi, terdapat GDP (Gross Domestic Product) dan GNI (Gross National Income) per kapita. GDP ada untuk mengukur semua barang dan pelayanan yang dihasilkan suatu negara, namun tidak memperhitungkan apakah individu juga perusahaan mendapatkan untung dari produk yang dihasilkan. Di pihak yang lain, pendapatan per kapita adalah ukuran untuk menilai penghasilan dari barang dan jasa yang dihasilkan negara tertentu yang ditotal dalam Dollar Amerika Serikat kemudian dicari rata-ratanya berdasarkan jumlah penduduk, atau dengan kata lain GNI per kapita ialah pendapatan per kapita suatu negara. Kemudian untuk mengukur lebih detil, penulis menggunakan indeks GINI agar dapat melihat besarnya ketimpangan ekonomi suatu negara. Adapun dari sudut pandang manusia dan lingkungan, Theories and Practices of Development mengadopsi HDI (Human Development Index) yang mencakup pendidikan, angka harapan hidup dan sebagainya. Bank Dunia pada 2016 yang silam telah mengeluarkan data terbaru terkait pertumbuhan GDP dari Korea Selatan. Dari grafik GDP yang tertera, Korea Selatan mengalami pertumbuhan drastis yang mana dalam rentan waktu kurang dari 60 tahun, Korea Selatan berhasil melesat sampai 1.411 triliun dollar AS dari tahun 1960 yang hanya 1,367 triliun dollar AS.[24]

Selanjutnya pada indikator GNI, Korea Selatan tercatat pada tahun 2016 mencapai 27.600 dollar AS. Pencapaian ini bertolak belakang jika melihat jauh ke belakang, Korea Selatan bahkan dinobatrkan sebagai negara termiskin di dunia, pun jika disandingkan dengan negara-negara lain di Asia dan di Afrika. Lebih dari pada itu, Korea Selatan telah berhasil berada pada urutan ke-45 dari 216 negara yang terdata Bank Dunia, dengan kata lain negara tersebut telah membangun diri sehingga predikat negara termiskin berbalik menjadi negara yang tergolong kaya secara global.[25]

OECD (2012) telah meneliti perkembangan Korea Selatan dari tahun 2006 hingga 2011 tentang bagaimana besarnya ketimpangan yang terjadi di negara tersebut. Kemudian dari rentang waktu yang telah diperhatikan, maka OECD melihat adanya stabilitas ekonomi yang bertampak pada kecilnya ketimpangan di Korea Selatan, yakni sebesar 0,31. Angka 0,31 sekali lagi mengukuhkan Korea Selatan bahwa negara ini tak hanya memiliki pendapatan yang relatif besar, namun distribusi pemasukan terlihat merata sehingga gap ketimpangan menjadi kecil.[26] Terakhir, bila masuk kepada indikator humanitarian pembangunan, HDI menjadi salah satu cara untuk mengetahui bagaimana pembangunan suatu negara bia berdampak baik pada pembangunan manusia di dalamnya. United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 2016 lalu mengeluarkan laporan HDI negara-negara di dunia. Korea Selatan pun muncul pada peringkat ke-18 dengan poin 0,901. Hasil yang didaptakn Korea Selatan tentu menjadi cerminan hampir sempurnanya pembangunan manusia di dalamnya, termasuk pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender, keamanan manusia, demografi dan lain sebagainya.[27] Kesimpulan Berdasarkan penjelasan mengenai bagaimana pembangunan dapat menjadi langkah tepat terhadap penurunan tingkat kemiskinan dan menutup jurang kesenjangan ekonomi. Maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yakni:

  • Pembangunan merupakan alat atau instrumen guna meminimalisir kemiskinan dan di sisi lai memaksimalkan kesejahteraan sosial – dapat diukur menggunakan HDI – sehingga suatu daerah tidak bisa dikatakan melakukan pembangunan apabila tidak mampu meminimalisir kemiskinan.

  • Korea Selatan berhasil melakukan pembangunan karena berhasil meningkatkan kesejahteraan, yang dilihat dari indikator perekonomian dan humanitarian.

  • Pembangunan Korea Selatan dilaksanakan dengan dua fase besar, yaitu Import Substitution Industrialization dan Export-Oriented Industrialization.

  • Pembangunan Korea Selatan juga melalui strategi pembangunan lima tahun, dari tahun 1962 hingga tahun 1986.

 

CATATAN KAKI

[1] Willis, Katie.2005.Theories and Practices of Development.New York:Routledge. Page 2 [2] Ibid. Page 7 [3] Ibid. Page 15 [4] Ibid. Page 8 [5] ___.2015.Fakta Tentang Korea.Sejong-si:Budaya Korea dan layanan Informasi Kementrian Budaya, Olah Raga dan Pariwisata. Hal 214 [6] Vu, Tuong.2010.Paths to Development in Asia:South Korea, Vietnam, China, and Indonesia.Cambridge: Cambridge University. Page 30 [7] Ibid. Page 31 [8] Ibid. Page 31 [9] Ibid. Page 31 [10] Sandra Halperin. Development Theory, Economics and Political Science. Encyclopaedia Britanica. https://www.britannica.com/topic/development-theory. 17 Oktober 2017. [11] Willis, Katie. 2005. Theories and Practices of Development. London & New York: Routledge. Hal 3-15 [12] Oh, Kongdan. 2010, Korea’s Path from Poverty to Philantrophy. Brookings: https://www.brookings.edu/articles/koreas-path-from-poverty-to-philanthropy/ [13] Ibid. [14] Kim, Kwan. 1991. The Korean Miracle (1962-1980) Revisited: Myths and Realities In Strategy And Development. Notre Dame: Kellog Institute. Hal 3 [15] Ibid, 5 [16] Ibid, 13 [17] Yi, Ilcheong et.al. 2014. Learning from the South Korean Developmental Success: Effective Developmental Cooperation and Synergistic Institutions and Policies. UNRISD: Jenewa. Hal 100 [18] Data pada tabel didapat berbagai sumber. [19] Murillo, David., Sung, Yun-dal. 2013. Understanding Korean Capitalism: Chaebols and their Corporate Governance. Barcelona: ESADE. Hal 2 [20] Lee, Phil-Sang. 2000. Economic Crisis and Chaebol Reform in Korea. Korea Selatan: Universitas Korea. Hal 8 [21] Ibid, hal 3 [22] Murillo, David., Sung, Yun-dal. 2013. Understanding Korean Capitalism: Chaebols and their Corporate Governance. Barcelona: ESADE. Hal 2 [23] Willis, Katie. 2005. Theories and Practices of Development. London & New York: Routledge. Hal 2 [24] Data dan grafik dikutip dari World Bank: https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD?locations=KR [25] Dikutip dari https://data.worldbank.org/indicator/NY.GNP.PCAP.CD?locations=KR dan http://databank.worldbank.org/data/download/GNIPC.pdf [26] OECD. 2012. Income Distribution Data Review – Korea. OECD: http://www.oecd.org/els/soc/OECDIncomeDistributionDataReview-Korea.pdf [27] Dikutip dari http://hdr.undp.org/en/countries/profiles/KOR poada 25/09/2017

bottom of page