Potensi Perang Dingin Jilid II: AS vs. Tiongkok di Indo-Pasifik
Narasi-narasi tentang Perang Dingin adalah fenomena yang tak dapat berdiri sendiri tanpa didahului dengan penjelasan terkait Perang Dunia II (PD II). Pasca berakhirnya PD II, negara-negara Eropa dan Jepang dapat digambarkan mengalami kehancuran besar-besaran. Baik negara-negara yang memenangi perang maupun yang tidak, sama-sama menanggung dampak buruk dari perang tersebut.
Secara lebih dalam, berangkat dari berakhirnya PD II, AS dan Uni Soviet kemudian memasuki babak baru. Kedua negara yang sebelumnya pada saat berada dalam PD II saling bekerjasama dalam rangka mengalahkan kekuatan Nazi, selanjutnya menjadi dua kekuatan yang saling bersaing. Di satu sisi, AS dengan segala kekuatan bersenjatanya – Navy, angkatan udara, angkatan darat serta memiliki senjata atom – masih tetap memiliki kecurigaan bahkan kekhawatiran akan potensi perang berikutnya serta ketidakpastian situasi keamanan dunia. Di sisi lain, terlepas dari kemenangan Uni Soviet pada saat PD II, negara ini mengalami kehancuran serius di mana estimasinya sekitar 20 juta rakyat Soviet meninggal akibat perang, serta perekonomian yang tidak lebih dari satu perempat jika dibandingkan dengan perekonomian AS pasca perang – bila dilihat dari GDP.[1] Lebih lanjut, selama lebih dari tiga dekade ke belakang, dua negara adidaya (AS dan Uni Soviet) berlomba-lomba untuk mengembangkan teknologi termutakhir serta menyebarkan ideologi – liberalisme dan atau komunisme. Keadaan inilah yang kemudian mengacu pada Perang Dingin.
Over the last three decades historians have examined the strategic arms race between the two superpowers, and one of the most important developments in historical scholarship has been the attempt to unravel the interdependence of strategy and diplomacy in the making of the Cold War.[2]
Kebijakan AS selama Perang Dingin salah satunya ialah implementasi Doktrin Truman. Doktrin Truman pada intinya merupakan propaganda Presiden Harry S. Truman bahwa Amerika Serikat memiliki kewajiban untuk membantu membebaskan masyarakat-masyarakat internasional dari tindakan subversif pasukan bersenjata dan tekanan asing – dalam hal ini komunisme Soviet. Berdasarkan pandangan Truman ini, maka AS mulai melakukan berbagai intervensi ke negara-negara, seperti terhadap Turki dan Yunani. Selain itu AS juga melakukan intervensi pada perang di Semenanjung Korea dengan membantu Korea bagian Selatan dari serangan Korea Utara atas bantuan Soviet dan Tiongkok. Lebih lanjut, Doktrin Truman dapat ditemukan pada dokumen National Security Council – NSC 68 – yang mana mencatat kebijakan luar negeri AS secara mendetail. Detail yang dimaksud semisal produksi militer sampai tujuh kali lipat antara tahun 1950 dan 1953 serta 50% dari tahun-tahun sebelum Perang Dingin.[3]
Fenomena serupa yakni persaingan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam Perang Dingin. Fenomena yang dapat mengarah pada Perang dingin pada masa sekarang adapun berpotensi terjadi antara Amerika Serikat dan Rakyat Republik Tiongkok (RRT). Hal ini bisa saja terjadi mengingat pasca kebangkitan Tiongkok di tahun 1990an yang juga merupakan buah dari open door policy oleh Deng Xiaoping. Tiongkok yang bangkit, terutama dengan cara ekspansi pasar yang berimplikasi pada percepatan kenaikan ekonomi negara tersebut. Pasar-pasar bagi produk Tiongkok diperluas tidak hanya ke negara-negara tetangga di Asia Timur, melainkan hingga ke Asia Tenggara, bahkan saat ini mencapai Eropa Timur melalui kebijakan One Belt One Road (OBOR).
Kemungkinan akan terjadinya Perang Dingin di sisi lain juga timbul bilamana melihat AS pasca kejadian 9/11 yang membawa negara tersebut pada babak di mana fokus pemerintah dicurahkan guna memberangus aksi-aksi terorisme hingga bermuara pada invasi ke negara-negara Timur Tengah. Kemudian harus menyadari bahwa di saat AS berfokus melawan kelompok-kelompok teroris, Asia Timur tumbuh sebagai kekuatan perekonomian baru, khususnya di kawasan Asia. Di mana Tiongkok sebagai bagian dari Asia Timur secara signifikan muncul sebagai penantang kekuatan AS terutama pada bidang pertahanan dan kemiliteran
Bergerak ke kawasan Indo-Pasifik, media massa The Australian (2017) bahkan menggambarkan hubungan AS dan Tiongkok layaknya dua negara yang sedang beradu panco. Kedua negara sama-sama berkompetisi untuk berekspansi ke kawasan tersebut mengingat Indo-Pasifik ialah perairan yang sangat strategis dilihat dari intensitas lalu-lintas laut, faktor strategis pertahanan-keamanan dan sebagainya.
Realisme Struktural
Realisme terkenal sebagai bagian dari teori Hubungan Internasional segera setelah kemenangannya atas pendekatan idealisme pada Great Debate selama rentang tahun 1930an hingga 1940an. Popularitas idealisme di kalangan pada akademisi merosot terutama bila melihat pada realita dunia yang mengalami Perang Dunia I dan II. Di lain sisi, realisme menyajikan pandangan bahwasannya kebijakan luar negeri sudah seharusnya berfokus pada pemenuhan kepentingan negara sendiri dibandingkan dengan pemenuhan akan ideologi tertentu serta mengejar perdamaian melalui peningkatan kekuatan. Dengan kata lain, realisme memperkenalkan pemimpin-pemimpin negara pada suatu pandangan bahwa maksimalisasi kekuatan merupakan cara terbaik guna meminimalisir potensi serangan dari negara lain.
Adapun pendekatan realisme mengenal istilah-istilah kunci, yakni anarki, kekuataan, self-help, balance of power dan security dilemma yang adalah sebagai berikut:[4]
Anarki merujuk pada kondisi politik internasional yang tidak memiliki entitas yang lebih tinggi dari negara-negara berdaulat atau dengan kata lain tidak adanya hirarki dan struktur politik internasional yang mengatur relasi antar negara.
Kekuatan (power) ialah elemen penting dalam literasi pendekatan realisme mengingat kekuatan merupakan instrumen yang dipakai negara-negara sebagai aktor utama politik internasional untuk mempertahankan dirinya dari potensi agresi negara lain. Realisme mengenal dua kekuatan utama (hard power) dari suatu negara, yakni kekuataan militer dan kekuatan ekonomi.
Self-help ialah terminologi yang dipakai para realis guna menunjukan bahwa di dalam dunia yang anarki, tiap-tiap negara sudah semestinya meningkatkan kekuatan masing-masing agar dapat bertahan. Hal ini dikarenakan setiap negara memiliki kecenderungan untuk mencurigai intensi negara lain.
Balance of power atau perimbangan kekuatan ialah keadaan ketika negara-negara berada pada status quo di mana tidak ada kekuatan satu negara yang mendominasi kekuatan negara lain.
Security dilemma adalah suatu kondisi atau lingkaran aksi-reaksi keamanan ketika dua negara atau lebih saling berlomba-lomba untuk meningkatkan kapasitas kekuatan. Hal ini terjadi dikarenakan apabila suatu negara meningkatkan kekuatan domestiknya, maka negara lain akan merasa tidak aman sehingga turut serta menambah kekuatan negaranya. Security dilemma memungkinkan terjadinya peperangan akibat penekanan pada keamanan domestik walaupun tidak ada pihak yang mempunyai intensi untuk berkonflik.
Secara lebih dalam, realisme struktural menekankan bahwa pada dasarnya politik internasional ialah perjuangan mendapatkan kekuatan, namun hal ini bukan berasal dari sifat alamiah. Realisme struktural melihat kompetitsi untuk meraih kekuatan dan konflik antar negara merupakan akibat dari kurangnya otoritas yang berada di atas negara. Kemudian, distribusi kekuatan inilah yang pada akhirnya akan berpengaruh pada fenomena-fenomena politik internasional seperti perang dan damai, politik aliansi dan balance of power. Selanjutnya, realisme struktural berpendapat terkait security dilemma sebagai akibat dari kecurigaan suatu negara akan negara lain bilamana terindikasi suatu negara melakukan peningkatan militer. Hal yang demikian tidak bisa dilepaskan dari ketentuan negara-negara untuk melakukan self-help mengingat sistem dunia politik yang anarki.
Bergerak dari hal-hal yang telah dijabarkan penulis dapat disimpulkan realisme struktural memiliki asumsi-asumsi dasar sebagai berikut:[5]
Negara dan aktor lainnya berinteraksi di dalam suatu lingkungan yang anarki. Ini berarti bahwa tidak ada otoritas pusat yang bisa memaksakan peraturan-peraturan tertentu.
Struktur dari suatu sistem ditentukan oleh tindakan-tindakan aktor di dalamnya.
Negara merupakan aktor yang beorientasi pada kepentingan sendiri, anarki dan sistem yang kompetitif memaksa negara-negara untuk melakukan self-help dibandingkan dengan tindakan koperatif.
Negara adalah aktor yang rasional, oleh karenanya negara memilih untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalisir kerugian.
Negara-negara melihat negara lainnya sebagai cikal-bakal musuh dan ancaman bagi keamanan nasional. Ketidakpercayaan ini menciptakan security dilemma dan juga menjadi dasar kebijakan-kebijakan yang diputuskan. Security dilemma kemudian dapat mengarah pada apa yang disebut sebagai Perang Dingin.
Para pemikir realisme struktural memandang tindakan negara pada politik internasional bukan dilandasi oleh sifat dasar yang egois, melainkan didorong oleh lingkungan yang anarki. Lingkungan yang anarki atau ketiadaan tatanan kemudian memaksa negara-negara untuk mengandalkan dirinya sendiri (self-help). Hal ini terjadi karena suatu negara tidak benar-benar mengetahui intensi negara lain. Akumulasi dari tindakan self-help dapat menuntun pada kondisi security dilemma atau dalam hal ini berpotensi mengarah pada Perang Dingin Jilid II bahkan dapat dikatakan bahwa Perang Dingin merupakan contoh atau bagian dari security dilemma.[6]
Anarki Indo-Pasifik
Dewasa ini perpolitikan dunia bergerak dengan ketiadaan tatanan rigid di mana mampu membawahi kedaulatan negara-negara. Setiap negara menjalankan politiknya berdasarkan kepentingan negara itu sendiri tanpa memiliki kewajiban absolut untuk mempertanggungjawabkan kebijakan yang diambil pada suatu badan internasional tertentu. Peristiwa yang seperti ini kemudian dinamakan kondisi anarki. Perpolitikan dunia yang anarki selanjutnya dapat ditemui di berbagai kawasan, termasuk di dalamnya kawasan Indo-Pasifik. Sebagai contoh, Myanmar sebagai salah satu negara yang berada di dalam kawasan perairan Indo-Pasifik tetap mampu dan tidak memiliki kewajiban untuk menghentikan kebijakannya guna mengusir Etnis Rohingya dari daerah Rakhine terlepas dari banyaknya kecaman dunia internasional terhadap aksi yang disinyalir merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia. Contoh lain ialah terkait bagaimana Tiongkok terus melakukan politik ekspansionisnya di Laut Tiongkok Selatan walaupun di lain sisi negara adidaya, AS beserta organisasi regional seperti ASEAN telah mewanti-wanti tindakan Tiongkok tersebut.
Self-help RRT dan AS
Tiongkok di bawah pimpinan Xi Jinping kembali menaikan anggaran militernya sebesar 8,1 persen bila dibandingan dengan tahun 2017, ini berarti Beijing akan menghabiskan dana sebesar 177 miliar dolar AS selama tahun 2018.[7] Di samping itu, usaha-usaha Tiongkok dalam rangka melindungi dirinya sendiri di tengah sistem dunia yang anarki di mana tidak ada satupun negara yang memiliki kekuasaan di atas negara lain dapat dilihat jelas dari bagaimana Tiongkok bekerja keras untuk memproduksi persenjataan militernya sendiri pasca bubarnya Uni Soviet yang sekaligus menandakan berakhirnya Perang Dingin di tahun 1990an. Seperti yang dikutip dari Reuters (2012) bahwasannya dengan mengentikan pembelian senjata dari Barat pada Era Tiananmen, Beinjing membangun industri militer sendiri yang kompleks dengan ditopang dana lebih dari 3,15 miliar dolar AS.[8]
Sejalan dengan pemikir-pemikir realisme bahwasannya militer merupakan kekuatan utama bagi suatu negara, Xi Jinping terus berusaha menantang supremasi AS di Indo-Pasifik, khususnya di Laut Tiongkok Selatan dengan mengembangkan misil, mengklaim pulau-pulau untuk membangun basis militer, juga menginvestasikan basis militer di Djibouti sesuai dengan grafik berikut.[9]
Berdasarkan grafik di atas, dapat terlihat jelas relasi AS-RRT yang berusaha melakukan tindakan self-help. Self-help yang dimaksud ialah dengan ekspansi basis militer sehingga meminimalisir potensi serangan mengingat setiap negara selalu memiliki kecurigaan akan intensi atau maksud negara lain.
Security Dilemma: Perang Dingin Jilid II AS-RRT
Dalam kunjungan Menhan AS, James Mattis pada tanggal 23 Januari 2018 menyatakan keinginannya untuk membantu Indonesia meningkatkan armada militer di Laut Natuna Utara yang berbatasan langsung dengan Laut Tiongkok Selatan (LTS). AS berharap dapat membantu Indonesia mengamankan wilayah perairan Indonesia terutama di saat eskalasi politik yang memuncak di Kawasan LTS seperti grafik berikut.[10]
Adapun pada pidato Menhan AS, James Mattis tersebut dengan lugas dikatakan bahwa AS sangat ingin untuk bekerja sama dengan Indonesia dalam rangka mencegah pengaruh Tiongkok di LTS yang notabenenya masuk dalam Perairan Indo-Pasifik. Hal ini mencerminkan kecemasan dari potensi Tiongkok yang besar, sekaligus usaha AS untuk memperkuat pengaruhnya merespon aktivitas peningkatan kekuatan Tiongkok di Kawasan Indo-Pasifik, sama halnya dengan ketakutan ketika merespon Perang Dingin dengan Uni Soviet pada tahun 1995 hingga awal tahun 2000.
[1] Leffler, P. Melvyn & Painter, David S. (2005). Origins of The Cold War: An International History (2nd ed). New York: Routledge. Hal 4
[2] Ibid.
[3] Cox, Michael & Stokes, Doug. (2012). US Foreign Policy. Oxford: Oxford University Press. Halaman 73
[4] Baylis, John dkk. 2014. The Globalization of World Politics: An introduction to international relations. Oxford: Oxford University Press. Halaman 101.
[5] Ibid, 131.
[6] Szalai, Andras. 2009. Coping with the Security Dilemma: A Fundamental Ambiguity of State Behaviour. Budapest: Central European University. Volume 2 (2) Hal. 113
[7] Johnson, Jesse. 2018. China announces 8,1% defense boost from 2017 as Xi pursues ‘world-class’ force. The Japan Times: https://www.japantimes.co.jp/news/2018/03/05/asia-pacific/china-announces-8-1-defense-budget-boost-2017-xi-pursues-world-class-force/#.Wqcq1iU0m00, dikutip pada 13 Maret 2018
[8] Lague, David & Zhu, Charlie. 2012. Insight: China builds its own military-industrial complex. Reuters: https://www.reuters.com, dikutip pada 11 April 2018
[9] Tweed, David & Leung, Adrian. 2018. China Is Making a Bold Military Power Play. Bloomberg: https://www.bloomberg.com/graphics/2018-china-navy-bases/, dikutip pada 13 Maret 2018
[10] Fisher, Max & Carlsen, Audrey. 2018. How China Is Challenging American Dominance in Asia. TheNew York Times: https://www.nytimes.com/interactive/2018/03/09/world/asia/china-us-asia-rivalry.html, dikutip pada 13 Maret 2018