Kehangatan Bernegara di Nusa Tenggara: Okomama adalah Koentji
![](https://static.wixstatic.com/media/88062d_c7f760d1ff2645f68c23f8192f795fcf~mv2.jpg/v1/fill/w_900,h_900,al_c,q_85,enc_auto/88062d_c7f760d1ff2645f68c23f8192f795fcf~mv2.jpg)
Saya lahir di Nusa Lontar. Ya, itulah nama lain dari Nusa Tenggara Timur (NTT), dikarenakan provinsi ini dipenuhi barisan pohon lontar (borassus flabellifer) sebagai pusat kehidupan banyak keluarga – dari daun, buah, getah, batang, hingga akar dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga. Memang banyak yang tidak diketahui orang tentang provinsi yang berbatasan langsung dengan Timor Leste ini. Hal ini mungkin diakibatkan akses transportasi udara ke sini yang relatif mahal dan lebih dari pada itu, pembangunan yang terkesan Jawa sentris, di mana pusara informasi cenderung terpusat, sehingga pulau-pulau lain hanya berperan sebagai konsumen, bukan produsen informasi. Untuk kepentingan informasi pula, saya bermaksud membagikan khasanah tradisi okomama yang telah berhasil menghangatkan dan meneguhkan kehidupan bernegara di tengah ‘pertempuran politik’ beberapa waktu lalu, serta sebagai rujukan untuk mencapai sila ketiga Pancasila: “persatuan Indonesia”.
NTT terdiri dari 5 gugusan pulau besar, yakni Timor, Flores, Rote, Sabu dan Sumba. Di samping itu, walaupun disusun atas keanekaragaman pulau dan suku di dalamnya, terdapat satu kesamaan yang seharusnya mengkhawatirkan, namun kemudian berubah menjadi anugerah. Mayoritas Kristen. Data BPS (2018) mencatat, lebih dari 90% penduduk NTT memeluk agama Kristen, lalu diikuti Islam sebanyak 8,5% dan disusul oleh penganut agama-agama lainnya. Di banyak negara dan provinsi, gap besar yang membagi satu golongan dengan golongan yang lain justru membawa malapetaka besar. Di Myanmar etnis minoritas diusir sehingga kehilangan status kewarganegaraannya dan di Thailand Selatan etnis minoritas Patani mengalami persekusi parah oleh kelompok mayoritas sosio-agama. Pertanyaan yang kemudian timbul, mengapa NTT mampu tetap menjaga sila ketiga Pancasila, walaupun terpaan politik identitas menguat di tahun politik ini?
Homi Bhabha (1994) dalam “The Location of Culture” memperkenalkan teori ruang ketiga. Secara sederhana, ruang ketiga merupakan titik yang mempertemukan dua pihak yang sedang bertikai, dimaksudkan untuk mencari common ground dalam penyelesaian masalah, juga dapat berarti pintu masuk komunikasi dua arah. ‘Ruang ketiga’ yang sama bisa ditemukan di NTT melalui tradisi okomama. Okomama secara literal merupakan suatu wadah (umumnya berbentuk kotak kecil) tempat menyimpan sirih, pinang dan kapur. Persis corak masyarakat NTT yang primordial dengan kebiasaan nyirih hampir setiap saat, karenanya okomama selalu dibawa ke mana-mana. Hal ini berarti, terlepas dari afiliasi politik apa pun dan termasuk agama apa pun, okomama selalu mampu mengambil perannya sebagai ruang ketiga, tempat kontradiksi dan polarisasi meluruh, karena yang ada hanya komunikasi untuk saling memahami dan rasa persaudaraan egaliter.
![](https://static.wixstatic.com/media/88062d_a28bacb07e2442aab04c5b834c3d20f0~mv2.jpg/v1/fill/w_660,h_371,al_c,q_80,enc_auto/88062d_a28bacb07e2442aab04c5b834c3d20f0~mv2.jpg)
Kebiasaan mencari persamaan di tengah-tengah perbedaan banyak membantu membentuk mentalitas sosial ketika berelasi. Ini pula yang menjadi kunci nihilnya pertikaian antarkelompok di NTT, khusunya bila berbicara mengenai konflik bernuasa agama. Kristen sebagai agama dengan pemeluk lebih dari 90% tidak serta merta menekan pemeluk agama lain, karena tujuannya ialah persatuan, bukan dominasi. Tercermin dari Gereja HKBP Kota Baru yang persis terletak di sebelah Masjid Al-Mutaqqin. Ketika suara anak-anak melantunkan ayat suci Al-Quran terdengar jelas dari dalam gereja, menyejukan jemaat dan pengurus gereja; juga saling koordinasi bila hendak mengadakan kegiatan besar, untuk menjaga harmonisasi aktivitas gereja ataupun masjid; dan lahan parkir dua tempat ibadah yang dipakai bergantian bila aktivitas ibadah berlangsung.
Belajar dari harmonisasi persatuan di Kota Kupang – sebagai gambaran Nusa Tenggara Timur, menjadi baik bila kita semua sama-sama belajar bahwa menjadi Indonesia berarti menyadari banyaknya perbedaan, namun dengan kesadaran yang sama pula, mengakui bahwa persaudaraan dan persamaan bisa membuat kita sebagai bangsa yang kuat di tengah potensi konflik sana-sini yang mengancam keutuhan negara.