top of page

Perdebatan Moralitas di Balik Hukuman

DenztrialCK

Masyarakat Indonesia belakangan dikagetkan dengan kebijakan sarat kontroversi yang keluar dari Kementerian Hukum dan HAM berkaitan dengan pembebasan narapidana akibat pukulan pandemi virus covid-19. Keputusan Menkumham Yasonna Laoly untuk memberikan program asimilasi bagi 39 ribu napi disebut-sebut merupakan bagian dari caranya memutus rantai penyebaran corona di lapas. Adapun menteri yang berasal dari partai berlogo kepala banteng ini menyatakan bahwa semua orang pasti pernah melakukan suatu tindakan tidak terpuji, sehingga kita harus memberikan kesempatan kedua bagi narapidana untuk berubah.[1] Berkaitan dengan penjara dan kesempatan kedua ini, penulis akan membahas prinsip self-ownership atau kepemilikan diri dan perdebatan justifikasi moralitas di balik hukuman penjara dan hukuman mati.


Cohen menjelaskan prinsip self-ownership yakni “secara moral setiap orang berhak penuh atas kekuasaan diri dan kepemilikan pribadi”.[2] Hal ini juga berarti bahwa semua orang pada dasarnya memiliki seperangkat hak untuk memanfaatkan dirinya sendiri tanpa dibatasi oleh orang lain – dengan diikuti dua syarat, yaitu (1) kepemilikan pribadi didapatkan dengan tidak menciderai kepemilikan orang lain, dan (2) kepemilikan dihasilkan dari pertukaran yang adil dan sukarela. Berangkat dari pemikiran libertariansime inilah fungi negara hanya dibatasi guna melaksanakan kontrak sosial, melindungi kepemilikan pribadi dan menjaga perdamaian; serta di pihak lain menolak pemerintahan yang bersifat paternalistik, bersikap seperti ‘polisi moral’, dan menempatkan diri sebagai distributor properti rakyat.


Pandangan Cohen yang menjunjung tinggi kebebasan dan kekuasaan seseorang atas dirinya sendiri bahkan masih menyisakan batasan sehingga pelanggaran terhadap aturan tersebut memungkinkan adanya intervensi negara. Campur tangan negara dalam bentuk hukuman – baik hukuman penjara maupun hukuman mati, serta keadaan aktual di mana terjadi asimilasi ribuan narapidana inilah yang selanjutnya akan menjadi fokus diskusi, yaitu apakah hukuman penjara dan hukuman mati dapat dijustifikasi secara moral


Filsafat Moralitas Hukuman

Perdebatan mengenai moralitas dari hukuman telah menjadi tantangan serius yang diperdebatkan banyak filsuf. Hal ini terjadi sebab pada dasarnya hukuman dapat diartikan sebagai tindakan yang dengan sengaja dilakukan untuk mendatangkan kesakitan (pain). Di sisi lain, walaupun menyakiti orang lain tidak diizinkan secara moral, baik filsuf utilitarian maupun deontologis setuju bahwa hukuman dapat dijustifikasi dengan berlandaskan alasan tertentu.


Seorang utilitarian menyandarkan logika justifikasi hukuman pada prinsip maksimalisasi kebahagiaan. Hukuman dapat dipakai sebagai instrumen untuk mengoptimalkan kebahagiaan masyarakat umum dengan cara mencegah ancaman kejahatan melakukan tindakan kriminal yang sama, walaupun dengan cara menyakiti atau menghukum orang tertentu. Justifikasi dari hukuman bagi utilitarianisme berputar pada penalaran deteren, inkapasitasi dan reformasi.


Posisi hukuman pada penalaran deteren yakni menempatkan hukuman sebagai alat untuk mendesak pelaku kejahatan dan orang yang berpotensi melakukan kriminal agar mengurungkan niatnya.[3] Berbeda dengan deteren, inkapasitasi berarti hukuman dipakai guna menghilangkan potensi seseorang melakukan kejahatan, contohnya dengan dipenjara atau dihukum mati. Adapun utilitarian menganggap hukuman yang melibatkan kesakitan bisa dibenarkan dengan tujuan reformasi perilaku penjahat melalui mendorong atau memfasilitasi perubahan sikap, contohnya dengan menerapkan rehabilitasi.


Di sisi lain, pemikir deontologis membenarkan moralitas hukuman bukan pada konsekuensi atau hasil akhir layaknya utilitarianisme, melainkan pada faktor intrinsik atau digambarkan dengan sifat retributif. Secara umum, sifat retributif dari deontologisme menjustifikasi hukuman dikarenakan pelaku kejahatan pantas mendapatkannya. Berangkat dari faktor intrinsik inilah, hukuman yang telah dijabarkan sebagai tindakan menyakiti secara sengaja bisa dibenarkan sebab tiga alasan utama, yakni pelaku kejahatan pantas menderita, upaya menegakan keadilan, dan sebagai bentuk kecaman.


Bentuk umum dari sifat retributif ialah bahwa pelaku kejahatan pantas untuk merasakan penderitaan yang sama dengan tindakannya. Oleh karena itu, hukuman dijustifikasi dengan berlandaskan pada nalar pembalasan setimpal. Dari pandangan upaya menegakan keadilan atau fair play, hukuman dapat dibenarkan sebagai respon atas tindakan tidak adil yang dilakukan, sehingga negara memiliki kewajiban guna memastikan pelaku kejahatan menerima kesakitan yang setara dengan kesakitan yang dihasilkan. Terakhir, sifat retributif deontologisme yang membenarkan hukuman – dalam hal ini hukuman penjara dan hukuman mati – karena hukuman ialah bentuk komunikasi nonverbal bahwa setiap orang tidak boleh melanggar hak self-ownership orang lain.


Setelah melihat bagaimana hukuman dijustifikasi oleh filsafat utilitarianisme dan deontologisme, pertanyaan yang timbul ialah apakah tindakan membalas menyakiti sesorang bisa benar-benar disepakati secara moral? Kritik-kritik berdatangan dikarenakan banyak ruang yang setidaknya belum mampu dijawab pendukung praktik memenjarakan dan menghukum mati seseorang. Kritik pertama ialah adanya bukti bilamana hukuman tidak mampu menjadi deter bagi pelaku kejahatan. Kekhawatrian utama dari kritikus adalah kenyataan bahwa mereka-mereka yang melakukan kejahatan sering bertindak secara impulsif dan irasional, ketimbang mengkalkulasi secara matang akibat dari tindakan kriminalnya, sehingga fungsi deter dari hukuman hanya bekerja ketika pelaku kejahatan kembali pada keadaan rasional.


Kritik kedua mempertanyakan hubungan antara inkapasitasi dan penurunan angka kejahatan. Memenjarakan pelaku kriminal contohnya masih memberikan peluang bagi tindakan kiminal lainnya. Sebagai contoh, pengedar narkoba dan anggota geng masih bisa melakukan kejahatannya di penjara, bahkan lebih dari pada itu, kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan narkoba dan anggota geng dapat dengan sangat mudah dan cepat digantikan oleh orang lain.[5]


Kritik ketiga menegaskan bahwasannya kalau pun hukuman bagi pelaku kejahatan mampu menurunkan angka kriminalitas, dampak dari hukuman tersebut tidak hanya terbatas dirasakan pelaku saja, melainkan bentuk hukuman tertentu – semisal penjara dan hukuman mati – bisa berpengaruh dan merugikan keluarga dan kelompok tak bersalah lainnya.[5] Adapun jika memang hukuman membawa lebih banyak dampak baik dari pada dampak buruk, pemikiran yang mendukung adanya hukuman harus membuktikan bahwa hukuman ialah satu-satunya cara yang efektif untuk membawa dampak baik bila dibandingkan dengan cara lain.


Kritik keempat dari hukuman penjara dan hukuman mati terletak pada ketiadan standar yang jelas untuk mengukur rasa sakit setiap orang. Dengan kata lain, baik hukuman untuk membawa lebih banyak kepuasaan dan kebahagiaan (utilitarian) dan untuk membalas kejahatan (retributif), institusi hukum tidak mampu memastikan bahwa rasa sakit dari hukuman bisa dijalankan secara setimpal.

 

[1] Ramadhan, Ardito. 2020. Soal Narapidana Asimilasi, Yasonna: Beri Kesempatan Kedua. Kompas: https://nasional.kompas.com/read/2020/05/04/15150921/soal-narapidana-asimilasi-yasonna-beri-mereka-kesempatan-kedua, diakses pada 6 Mei 2020

[2] Cohen, G.A. & Graham, Keith. 1990. Self-Ownership, Communism, and Equality. Proceedings of the Aristotelian Society, Supplementary Volumes, Vol. 64. Hal. 25-61

[3] Empat jenis deteren: (1) deteren spesifik, yakni bagaimana hukuman berpengaruh mengubah kelakuan penjahat di masa depan; (2) deteren umum, yaitu pengaruh hukuman terhadap seorang penjahat guna menakuti orang lain untuk tidak melakukan kejahatan; (3) deteren parsial di mana apakah hukuman bisa mengubah nilai seseorang, walaupun orang tersebut tetap melakukan kejahatan.

[4] Tonry, Michael. 2011. Why Punish? How Much? A Reader on Punishment. Oxford: Oxford University Press. Hal 475-478

[5] Mauer, Marc, & Meda Chesney-Lind. 2002. Invisible Punishment: The Collateral Consequences of Mass Imprisonment. New York: The New Press

bottom of page