Apa yang Membuat Manusia Jadi Manusia?
Minggu lalu saya berkesempatan mendatangi Museum Nasional. Selain dipenuhi dengan arca-arca Hindu-Buddha, yang menarik perhatian saya justru salah satu sudut yang menjelaskan evolusi manusia. Perjalanan panjang manusia modern dimulai dengan Australopithecus Africanus sekitar 7.000.000 tahun lalu hingga Cro-Magnon yang menginjakkan kaki di bumi 35.000 tahun silam. Lalu ada satu pertanyaan besar yang begitu berisik di otak saya, apa yang membuat manusia menjadi manusia?
Secara morfologis bentuk manusia modern jelas berbeda dengan mamalia lainnya. Contohnya kita mampu berjalan tegak dengan dua kaki dan memiliki volume tengkorak yang lebih besar dari primata lain. Namun apakah bentuk fisik saja cukup untuk memisahkan manusia dari spesies lainnya? Sejak keluar dan mengatasi alam, manusia mengalami keterasingan dari dunia liar. Mencari makna dari belantara dunia dan di saat yang bersamaan berusaha memisahkan identitas superior sapiens dari binatang buas alam raya.
Pertanyaan tentang eksistensi manusia kembali menggelitik saya selama perjalanan kereta dari Gambir menuju Tawang. Memaksa saya untuk menulis guratan gagasan yang sebentar lagi tumpah ruah. René Descartes (1637) merumuskan manusia dengan sangat cantik melalui ungkapannya yang paling terkenal “je pense, donc je suis” atau “I think therefore I am” atau “saya berpikir maka saya ada.” Dalam ke-sok-tahu-an ini, hemat saya ada 2 hal fundamental yang membedakan manusia dengan spesies lain. Pertama, kemampuan kita untuk menyadari keberadaan sebagai manusia. Kedua, manusia tidak memiliki kodrat atau predestined purpose.
Sebelum lebih dalam menyelami eksistesi manusa yang super duper ruwet, izinkan saya untuk memberikan disclaimer bahwa tulisan ini tidak akan menyelesaikan apa-apa. Pada dasarnya jawaban soal manusia hanya membuka portal pertanyaan baru dan bercabang. Suatu siklus yang tidak akan pernah ada ujungnya.
Kompleksitas kemanusiaan membuat kita bisa menyadari diri sendiri sebagai manusia untuk selanjutnya bertindak seperti manusia. Sifat naluriah yang didorong insting kemudian ditekan rasionalitas manusiawi. Mungkin ini pula yang dimaksud Freud dalam trias id, ego, superego. Kapabilitas untuk berpikir ialah satu hal, tetapi sampai pada didik di mana berpikir bahwa kita adalah manusia adalah hal yang sekiranya dimaksud René Descartes.
Berikutnya, manusia lahir tanpa predestined purpose. Kita membentuk identitas dan persona sendiri. Berbeda dengan kursi, meja, sapu dan benda lain yang terlebih dahulu berasal dari ide kemudian dibentuk. Berbeda juga dengan singa yang terlahir untuk berburu binatang di bawah segitiga makannya atau elang yang terlahir untuk terbang sembari memantau calon makannya dari ketinggian. Manusia ialah binatang yang belum sempurna, kemudian hidup dalam proses eksitensialisme mencari/membentuk identitasnya.
Akhir kata, kita cukupkan dulu sampai di sini ke-sotoy-an menyoal manusia. Perjalanan menuju Semarang masih panjang dan kantuk sudah menyerang dari tadi. Tidak ada penutup yang fancy, silakan berputar-putar dalam petualangan menjadi manusia.
Dokumen Pribadi, Museum Nasional (2022).
Kommentare