top of page

Berani Takut

Denztrial Celvin Kehi
Kalau lagi sendiri seperti sekarang, kadang suka mikir, “kok bisa ya bisa sampai di titik ini?”

Tanggal 26 Mei kemarin aku sempetin ke New York bersama seorang teman. Kota itu menurut kami adalah Jakarta dua puluh, tiga puluh tahun di masa depan. Padat. Tempat yang sangat vibrant dengan segala keunikan manusia di dalamnya. Ibu-ibu duduk di sebelah homeless berjenggot tebal yang sedang komat-kamit di dalam kereta, tanpa merasa ada yang janggal. Oh iya, ternyata ada juga penjual cangcimen seperti di Terminal Manggarai.


New York mengingatkan aku tentang seberapa jauh kaki ini sudah melangkah. Tentang ketakutan-ketakutan di masa lalu. Mempertanyakan pilihan hidup – apakah jalan yang sama harus terus dikejar atau memilih untuk putar haluan. Faktanya, pilihan apapun yang diambil, aku tidak punya jaminan kalau salah satu di antaranya akan berhasil.


Aku percaya kalau manusia itu didorong oleh dua hal: harapan dan ketakutan. Kita bisa mengerjakan A karena dikontrol oleh harapan mendapat B. Tapi kita juga bisa mengerjakan A karena dikontrol oleh ketakukan akan mendapat C. Harapan adalah cahaya di ujung lorong yang mengisyaratkan kita bergerak ke arah yang tepat. Sedangkan ketakutan adalah kegelapan yang mendorong kita pergi ke cahaya itu.


Hari ini, aku tidak sengaja membaca note di handphone yang kutulis saat perayaan tahun baru 2023. Isinya begini:

Hari ini di tahun lalu, anak manusia sedang meyakinkan diri untuk berdiri sekali lagi. Mencoba sekali lagi. Berjuang sekali lagi. Sambil berharap bahwa di tengah tiap-tiap "sekali lagi" yang ditkhtiarkan, pada akhirnya membuka pintu yang sempat terkunci rapat. Kepalanya adalah keramaian paling sepi. Berisik dan kosong di saat yang bersamaan. Pertanyaan tak terjawab. Gamang akan gulita masa depan. Diperhadapkan dengan persimpangan-persimpangan sulit – adalah tampak seperti kekalahan sebelum berperang. Hari ini, anak manusia belajar berjalan dengan kakinya sendiri. Pergi ke tempat tempat jauh di luar mimpi paling liar. Karena jawaban pertanyaan adalah awal dari pertanyaan baru.

Ketakutan jadi emosi yang paling dominan di kasusku. Takut malu, takut salah, takut ditolak, takut gagal, takut kehilangan. Itu yang bikin kalau lagi sendiri seperti sekarang, kadang suka mikir, “kok bisa ya bisa sampai di titik ini?” Apakah aku seberani itu?


Ternyata aku tidak seberani itu. Setelah aku pikir lagi, pertimbanganku selalu ada pada seberapa takut diriku. Aku lebih takut untuk statis, meneruskan status quo, melanjutkan apa yang sedang aku kerjakan; atau aku lebih takut untuk berubah, mencoba hal baru, membuka diri pada kemungkinan lain. Kabar buruknya adalah aku tidak pernah tahu mana pilihan yang benar. Kabar baiknya adalah aku juga tidak pernah tahu pilihan yang benar. Semua pilihan sepaket dengan konsekuensi, entah baik atau buruk.


Di sisi lain, berani menurutku bukan keadaan tanpa rasa takut, tapi kerelaan untuk mengakui kalau aku justru sedang takut. Dengan jujur pada diri sendiri, aku kemudian bisa membagi antara ruang yang bisa aku kontrol dan ruang yang aku tidak kenal. Aku suka menyebut ruang tersebut sebagai gap informasi. Dulu aku takut gelap karena tidak tahu apa yang ada di sekelilingku saat lampu padam. Dan sekarang aku sadar bila kenyataannya adalah, akan selalu ada “ruang gelap”.


Comentários


bottom of page