top of page

Gugur

Denztrial Celvin Kehi

Pria itu bernama Dimas, lebih lengkapnya Dimas Caessa Kalinga. Layaknya sebuah ungkapan bahwa nama adalah doa, orang tua Dimas percaya dia akan menjadi anak laki-laki yang lembut hatinya, namun berjiwa bebas – seperti Kalingga yang berarti burung dalam bahasa Sansekerta. Tapi itu adalah harapan, karena nyatanya dia masih jauh dari itu.


Dimas bukan tipikal pria alfa. Dia hanya laki-laki biasa yang mungkin saja kamu pernah lalui di mall tanpa sadar kehadirannya. Persis tokoh figuran dalam setiap drama: ada, tapi seakan tiada.


Tak banyak yang tahu dia punya bekas luka di kepalanya. Serupa sekumpulan ketombe, hasil gonta-ganti minyak rambut ketika berada di Sekolah Menegah Pertama. Tak ada yang tahu dia suka membaca ensiklopedia dinosaurus sejak kelas 4 SD. Dimas merupakan tipe orang yang bila dia menggunakan pakaian berulang-ulang secara beruntun, tak ada satupun yang akan sadar.


Saat ini, Dimas sedang galau bukan main. Dia putus dari pacarnya setelah dua tahun menjalani kisah asmara.


Ketika dia berharap 2021 akan memberikan harapan baru dibandingkan tahun lalu, ternyata realita menuntunnya pada kenyataan sebaliknya. Di tengah pandemi dan WFH yang entah di mana ujungnya, Dimas baru saja memutuskan pacarnya melalui pesan singkat WhatsApp. Nama wanita itu adalah Adelia.


Dimas sedang bekerja ketika handphone-nya bergetar. Menunjukan ada notifikasi baru pada second account Instagram yang dipakai untuk publikasi podcast-nya. Iya, Dimas memang sudah setahun terakhir menggeluti dunia per-podcast-an yang katanya untuk mengisi waktu luang selama bekerja dari rumah.


Seperti kilatan petir di siang bolong yang merobek garis cakrawala, tak sengaja Dimas melihat pacarnya berduaan dengan pria lain melalui story Instagram. Anehnya, story tadi tak nampak di akun Instagram utama milik Dimas.


Lima kali Dimas menelpon Adelia, baik melalui WA maupun menggunakan nomor telepon seluler. Tak satupun terangkat di ujung pesawat telepon. Selama keheningan itu pula dia memantapkan diri untuk menyudahi hubungannya dengan Adelia. “Adelia, kita putus.” Dimas memutuskan Adelia dengan kalimat yang sangat singkat, seolah tak ingin membiarkan waktu terlalu lama mengiris hatinya di saat mengetik pesan pahit itu.


Dimas tak punya prasangka apa-apa hari itu, namun ada yang aneh dari Adelia. Karena tumben sekali, wanita itu sempat menelepon saat makan siang. Ia tampak begitu cantik, dengan baju krem lengan panjang, rambut ikal yang dibiarkan terurai, serta kalung pemberiannya yang teruntai manis di leher Adelia. “Kamu mau kemana, yang? Kok cantik banget sih pacarku hari ini?”, tanya Dimas melalui video call. “Nggak ke mana-mana kok, aku sengaja pakai begini karena mau pemotretan kepanitiaan kampus,” balas Adelia.


Namun mau bagaimana lagi, pikir Dimas setelah dua minggu resmi putus. Iya, membutuhkan setidaknya dua minggu bagi Dimas untuk menumpahkan air mata dukacita sebelum bisa sedikit berpikir jernih. Malam-malam itu perlahan terkikis rasa hampa. Malam yang penuh tarikan nafas berat. Peluh sesak dada seperti terikat rantai kapal disertai bolak-balik tubuh gelisah di atas kasur. Sekarang semuanya berganti lobang nganga besar tepat di jantung. Rasanya kosong sekali.


***


Tiga minggu sudah hubungan mereka karam diterjang ombak kehidupan. Dimas perlahan mulai kembali melakukan kegiatannya seperti semula. Dia sudah memblokir mantannya dari semua sosial media. Ia juga sudah menghapus foto-foto manis yang terparkir indah di Instagram dan galeri handphone. Satu-satunya sarana komunikasi yang dibiarkannya adalah SMS atau telepon. Dimas sebenarnya tak ingin memutus tali silahturami begitu saja. Apalagi dua tahun mereka tidak seburuk yang dikira. Adelia punya andil besar bagi banyak hal baik di hidupnya.


Satu hal yang Dimas sadari adalah sudah tak ada lagi ucapan selamat pagi yang menyambutnya untuk memulai hari. Tak ada lagi gurauan panjang sebelum membenamkan diri bersama malam. Tak ada lagi pertemuan-pertemuan yang dirindukan.


Tidak banyak diketahui, ternyata masih ada perkara yang membuat Dimas susah move on: meranggasnya Pohon Jati menjelang musim panas. Iya, Adelia sangat suka memandangi guguran daun. Menurutnya, jatuhnya helai demi helai daun Jati adalah bentuk cinta yang paling tulus. Pergi untuk menghasilkan kehidupan baru. Sialnya, halaman di samping rumah Dimas dikelilingi puluhan tumbuhan liar yang bernama ilmiah tectona grandis itu.


***


Kita sudah memasuki bulan Juli kala Dimas telah kembali ke Jakarta. Ia pulang sebab ada kabar dari kantor bahwa minggu depan work from office akan dilanjutkan dengan sedikit modifikasi. Human Resources Department (HRD) sudah membagi jadwal kerja menjadi 50 persen. Sebagian pegawai akan bekerja pada hari Senin dari kantor dan sebagian lagi tetap bekerja dari rumah. Kemudian dilanjutkan hari Selasa di mana kloter kemarin akan bertukar posisi. Begitu seterusnya sampai pandemi benar-benar selesai.


Dimas sengaja pulang lebih cepat agar dia masih memiliki kesempatan ke Telaga Warna, Cisarua, Bogor. Tempat wisata ini sudah lama ingin dikunjungi, tetapi belum ada waktu yang tepat. Dimas mengendarai Kijang Innova G produksi tahun 2009 seorang diri, sebab dia memang menyukai solo travelling. Menurutnya tak ada yang lebih menyenangkan dari pada bebas menentukan kapan dan di mana akan berpergian. Tentunya hal-hal itu akan sangat repot bila harus menyatukan pendapat terlebih dahulu ketika memilih berwisata dengan teman-temannya.


Tepat pukul 9 pagi Dimas sudah tiba di Telaga Warna. Ia langsung ingin makan di sebuah Saung di pinggiran danau, sebab tadi subuh dia belum mengisi perut dengan nutrisi berarti. Lambungnya hanya beralaskan mie instan sebelum berangkat.


Saat sedang membaca menu makanan dengan seksama, tiba-tiba seorang wanita berdiri di sampingnya.


“Kamu ngapain di sini?”, kata Adelia.


Dimas masih diam. Seperti ada bom atom yang menghantam tepat di dadanya. Meluluhlantakkan kesadaran Dimas untuk sepersekian detik.


“Kok kamu di Bogor?”, tanya Adelia sekali lagi.


“Eh, ini. Nggak…” balas Dimas seadanya seperti seorang murid yang tertangkap basah oleh guru olah raga saat melakukan percobaan membolos.


“Kamu ngomong apa sih? Nggak jelas. Tapi ya sudahlah, toh itu cuma basa-basi. Sejak kapan kamu balik dari Kupang?”


“Aku baru kemarin sampai Jakarta. Meninggalkan Kupang karena minggu depan sudah ngantor lagi. Kamu sendiri ngapain di sini?”, balas Dimas.


“Kamu lupa aku orang Bogor? Aku bareng teman SMA yang kamu ken-”


Belum selesai Adelia menyambung penjelasannya, Dimas bertanya lagi, “Kenapa kamu bohongin aku? Setelah semua yang sudah kita lalui, semua yang sudah aku lakukan, semua yang sudah kamu usahakan, dan semua yang sudah kita ikrarkan, kenapa?” Tak sadar air mata Dimas mengalir di sela kata-kata.


Adelia tidak menjawab.


“Kenapa?” tanya Dimas, sekali lagi sembari menatap lembut mata Adelia.


“Aku sudah tidak mencintaimu lagi, Dimas”, balas Adelia, pendek.


Capek?”


Nggak. Nggak gitu. Aku hanya tak mencintaimu lagi. Kita sudah setahun ldr, setiap hari teleponan, tapi rasa itu tiba-tiba tak ada lagi. Tak sama dengan api yang dulu aku rasakan”, lugas Adelia.


“Tapi kita janji untuk bertemu lagi. Kita masih bisa bangun dari awal setelah pandemi berakhir. Apakah itu tidak cukup buatmu?”, Dimas merespon dengan mulut yang bergetar.


“Beda Dim, bila aku benar-benar masih mencintaimu, mestinya api itu tetap ada. Sama dengan api yang kamu miliki, mungkin hingga detik ini. Bila diteruskan justru jadi tak sehat untukku, dan akan lebih tak sehat untukmu,” jelas Adelia.


Dimas tertunduk diam seolah mengiyakan. Pendapat Adelia mungkin ada benarnya.


Adelia menyambung perkataannya, “we will be okay, pasti. Kalau pun jodoh, nanti bisa dipertemukan sih. Nggak tahu gimana, atau nggak tahu aku yang tiba-tiba muncul. Yang terpenting kita sembuh dulu. Janji?”


“Aku usahain”, kata Dimas sambil mengangkat kembali kepalanya dan mengusap air mata yang sudah membasahi kerah baju.


“Aku pergi ya, mereka pasti mencariku,” Adelia pamit sembari menoleh ke arah teman-temannya.


Dimas merapatkan bangku ke arah meja, kembali fokus mencari menu yang cocok di lidahnya. Tanpa sadar daun-daun Pohon Jati berguguran. Setiap helai mewakili pengorbanan untuk memperpanjang usia pohon dari serangan terik musim kemarau. Juga pertanda bahwa kehilangan bisa menjadi awal kehidupan baru. Dimas terdiam, berharap guguran daun mendoakannya agar bisa setegar pohon yang melepaskan lembar daun kesayangannya.

Comments


bottom of page