Manusia, Binatang yang Kesepian
Bulan Februari yang silam saya berkesempatan untuk membaca The Art of Loving, karya Erich Fromm. Sesuatu yang sebenarnya sudah sejak lama ingin dilakukan. Namun tulisan ini sedang tidak berniat untuk membahas cinta dan tutorial mempelajari seni tua dalam peradaban itu, melainkan guna menyoal masalah besar eksistensi manusia. Pada satu titik, Fromm menyinggung keterpisahan manusia dengan dunia. Evolusi jutaan tahun menghasilkan makhluk yang terpisah dengan dunia. Keterpisahan ini menimbulkan lubang yang sulit diisi. Kesendirian yang mustahil dirumuskan secara sempurna. Inilah yang membawa saya bertanya, apakah manusia tak lain ialah binatang yang ditakdirkan kesepian?
Pertanyaan besar tentunya membutuhkan penilikkan yang mendalam. Buru-buru mengambil kesimpulan hanya akan merumitkan perkara yang sudah rumit sejak awal. Tulisan ini berusaha mengulik teka-teki yang menyebabkan manusia kesepian. Apakah kesepian benar-benar kutukan atas Homo Sapiens? Adakah obat untuk kesepian?
Sebelum menulis, saya sempat bertanya melalui instastory perihal kesepian menurut mereka. @orphiccosmogyral memandang – dan saya kutip – “[Loneliness] is more of a feeling for me. I can feel lonely even when surrounded by people.” Akun @sisi.li.a menambahkan bahwa kesepian juga bisa memantik perasaan lain, seperti perasaan tidak dicintai dan perasaan tidak pernah cukup.
Sebelum beranjak lebih dalam, perlu juga memberi disclaimer jika kesepian tak berarti kesendirian. Bahkan koneksi antara dua konsep tersebut terlalu lemah. Seseorang dapat merasa kesepian walaupun sedang di keramaian, dan begitupun sebaliknya: seseorang bisa merasa penuh/puas walapun sedang sendirian.
Kesepian adalah perasaan alienasi. Keadaan mental yang mengarah pada pemahaman bahwa kita tak akan pernah bisa dimengerti oleh orang lain. Hasrat untuk menghapus lubang eksistensi personal dan menggantinya dengan keterhubungan transenden.
Saya jadi teringat mitologi Yunani kuno mengenai manusia. Dikisahkan pada dahulu kala, manusia memiliki 4 tangan, 4 kaki, dan satu kepala yang tergabung. Manusia menjadi sangat kuat lantaran terlahir dan hidup berpasangan. Kekuatan ini membuat manusia berani menantang dewa-dewa. Zeus yang ketakutan lalu memisahkan manusia menjadi dua bagian dan mengutuk mereka untuk mencari pasangannya seumur hidup.
Mungkin mitos usang di atas yang membuat kita menciptakan simbol, bahasa, mesin pencari, bahkan media sosial demi mengisi keterputusan dengan sesama. Semua hanya untuk berakhir dengan fatamorgana kepuasaan. Sialnya, tak ada yang benar-benar tahu penyebab kesepian.
Beberapa penelitian menyebut kesepian dipengaruhi oleh DNA dikarenakan berkaitan dengan komponen genetik seperti depresi, kebahagiaan, kecemasan, dan lain sebagainya. Di sisi lain, kecemasan juga dikaitkan dengan gaya asuh seseorang. Seorang anak yang dibesarkan dengan gaya attachment yang tepat akan tumbuh menjadi lebih independen dengan kepuasan batin. Tentunya semua itu sangat dioversimplifikasi, namun masuk akal secara intuitif.
Saya percaya bahwa seperti kelaparan yang dapat diobati dengan makanan, kesepian bisa diobati dengan keterhubungan yang murni. Celakanya manusia dengan mudah mendefinisikan makanan. Kita tahu makanan apa yang dibutuhkan untuk memuaskan rasa lapar, sedangkan kesepian adalah jenis lapar yang berbeda. Kelaparan yang hanya bisa diobati dengan mengakui bahwa seberapapun kita mencoba, akan selalu ada lubang baru. Ketidakmampuan untuk dimengerti seutuhnya. Keterbatasan manusia dalam keterpisahan dengan dunia dan manusia lain.
Pada akhirnya, manusia tidak lain adalah binatang yang mencari makna dalam keterpisahannya dengan dunia dan sesama. Makhluk yang berusaha mengais keterhubungan mutlak untuk mengisi lubang-lubang eksistensi bernama kesepian. Oleh karenanya percobaan-percobaan mengatasi rasa sepi juga harus dibarengi dengan penerimaan diri. Sikap yang menyadari bilamana kita tak akan bisa sepenuhnya dimengerti, terhubung, dan terisi; tetapi di saat yang bersamaan tetap menerima diri sebagai suatu keutuhan.
Comments