top of page
  • Denztrial Celvin Kehi

Masa Depan Tensi Politik Amerika Serikat dan Tiongkok Pasca Pandemi COVID-19


Latar Belakang

Presiden Donald Trump tidak membutuhkan waktu lama untuk mempertegas hubungan rivalitas terhadap Tiongkok. Pada tahun yang sama sejak didaulat sebagai pemegang komando administrasi, Trump langsung menerbitkan dokumen National Security Strategy sebagai doktrin Amerika Serikat dalam menjalankan jargon politik America First. Washington menilai perkembangan politik, ekonomi dan militer Tiongkok merupakan tantangan bagi kekuasaan, pengaruh dan kepentingan Negeri Paman Sam, serta usaha yang coba mengikis kesejahteraan dan keamanan Amerika Serikat (AS).[1] Berangkat dari sikap politik untuk menahan laju Tiongkok dan tantangannya terhadap hegemoni AS, secara praktikal Presiden Trump telah menerapkan tiga kebijakan luar negeri utama, yakni perang dagang, perang teknologi dan perang ideologi. Tiga poin implementasi dari containment policy inilah yang selanjutnya membuat masyarakat internasional memperkirakan akan kembali terulangnya Perang Dingin (kali ini antara Amerika Serikat dan Tiongkok).


Nosi mengenai mengenai dunia yang akan kembali menghadapi Perang Dingin kemudian harus teralihkan dengan fokus terhadap ledakan krisis pandemi COVID-19. Banyak negara tak bisa menghindari beban kesehatan, keuangan, dan anjloknya harga komoditas yang pada akhirnya bermuara pada kemerosotan pertumbuhan global. Sejalan dengan fenomena tersebut, IMF telah menerbitkan laporan bahwa proyeksi pertumbuhan dunia akan jatuh ke angka negatif 3 persen – berbeda jauh dari pertumbuhan ekonomi dunia Januari 2020 sebesar 6,3 persen.[2] Mengutip pernyataan Presiden Xi Jinping dalam suatu alamat televisi: “It is unavoidable that the novel coronavirus epidemic will have a considerable impact on the economy and society,”[3] juga fakta bahwa virus COVID-19 menjangkit lebih dari 83 ribu penduduk Negeri Naga Merah itu dan memakan 4.634 korban jiwa per 17 Juni 2020, maka tak heran bila Tiongkok secara signifikan terdampak oleh krisis ini. Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Manager Index, PMI) manufaktur Tiongkok jatuh 22 poin pada periode Januari-Februari 2020 menjadi 35,70 sehingga tak hanya hasil manufaktur tidak diserap pasar global karena terputusnya rantai distribusi, namun 85 persen dari usaha kecil-menegah ikut terpukul akibat kehabisan modal untuk bertahan selama tiga bulan menutup bisnis.[4]


Ekonomi Amerika Serikat juga ikut merasakan konstraksi terparah yang mengalahkan krisis finansial 2014 di saat harga minyak dunia anjlok. Pertumbuhan ekonomi AS pada kuarter pertama tahun ini menyentuh angka negatif 4,8 persen, sehingga Amerika berusaha menekan pukulan ekonomi dengan menggelontorkan $ 3 triliun terhadap pengeluaran tidak terduga – termasuk memberikan bantuan langsung kepada banyak keluarga, khususnya bila mengingat lebih dari 26 juta orang terdampak PHK sejak pertengahan Maret.[5] Selain itu, hal paling penting ialah tidak kurang dari 2,2 juta jiwa sudah terinfeksi virus corona di Amerika Serikat dan menewaskan setidaknya 119 ribu nyawa per 18 Juni 2020. Berdasarkan kenyataan bahwa Tiongkok dan Amerika sama-sama menghadapi krisis pandemi COVID-19 di tengah tensi politik yang sempat memanas sebelumnya, maka tulisan ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana masa depan tensi politik di antara Amerika Serikat dan Tiongkok pasca pandemi COVID-19?”

Kebijakan Luar Negeri dan Perang Irregular

Kebijakan luar negeri pada intinya merupakan serangkaian usaha negara untuk menciptakan perubahan atau mempertahankan keadaan. Dalam konteks hubungan internasional, kebijakan Amerika Serikat bisa dinilai sebagai bentuk implementasi dari usaha mempertahankan keadaan, sehingga mengeluarkan tiga poin kebijakan containment merupakan hal paling rasional. Adapun Tiongkok merupakan aktor yang berada pada tahap revisionis atau kebijakan luar negeri yang bermaksud menciptakan perubahan. Sistem global yang bersifat anarki menciptakan kecurigaan negara-negara di mana penambahan kekuatan suatu negara bisa memicu kecemasan negara lain, oleh karenanya menaikkan kapabilitas negara sendiri, atau di lain pihak mengajak kerja sama negara-negara untuk berkelompok adalah perilaku yang selalu ditemui dalam dinamika hubungan perpolitikan global.


Kebijakan luar negeri memiliki corak-corak tertentu yang dimaknai Kaplan sebagai equilibrium rules, beberapa di antaranya yaitu:[6]

1. Keinginan meningkatkan kapabilitas, namun lebih memilih negosiasi ketimbang berperang;

2. Berperang ketimbang gagal untuk meningkatkan kapabilitas;

3. Berhenti berperang dari pada mengeleminasi aktor esensial.


Dapat diperhatikan bilamana kebijakan luar negeri selain menjelaskan motif dari kebijakan negara – mempertahankan keadaan atau menciptakan perubahan – terdapat pula corak dari kebijakan itu sendiri. Corak yang dimaksud berpeluang terejawantahkan melalui peperangan. Apabila menilik perimbangan kekuatan di antara Amerika Serikat dan Tiongkok, maka menurut hemat penulis peperangan yang dimaksud tidak sedang berbicara pada konteks peperangan terbuka atau peperangan konvensional milter. Perhitungan untung-rugi sebelum terlibat perang konvensional menjadi syarat mutlak, ditambah pasca Perang Dunia II ide mengenai konflik militer antarnegara menjadi nosi yang usang. Oleh karena itu, perang illegular setidaknya menjadi nosi yang masuk pada perbendaharaan kebijakan kedua negara.

Berbeda dari perang konvensional yang menargetkan kehancuran militer lawan, perang illegular memfokuskan strategi pada seberapa besar dapat menguasai populasi dalam wilayah tertentu – umumnya terejawantahkan melalui upaya mendorong dukungan masyarakat (influence people’s allignment). Menggunakan kalimat lain, perang illegular bisa dimaknai menjadi “perjuangan di antara aktor-aktor negara dan non-negara guna mendulang legitimasi dan pengaruh terhadap populasi.”[7] Adapun dikarenakan tujuan dari perang illegular merupakan perluasan pengaruh non-militer, maka menjadi relevan jika perang yang terlaksana di antara Washington dan Beijing, khususnya sebelum pandemi COVID-19 ialah perang dagang, perang teknologi dan perang ideologi.

Amerika Serikat dan Tiongkok Sebelum Pandemi COVID-19

Perang dagang di antara Amerika Serikat dan Tiongkok pada dasarnya merupakan pengejawantahan dari rivalitas dua kekuatan dunia saat ini. Ekonomi sebagai faktor esensial dari pertarungan pengaruh menyebabkan siapapun yang keluar sebagai pemenang dari perang dagang, paling tidak akan berperan besar membentuk wajah dinamika hubungan internasional. Bermula dari konservatisme Presiden Trump dengan jargon America First, Washington menaruh perhatian spesial kepada manuver perdagangan bilateral Beijing. Perniagaan barang dan jasa Amerika Serikat-Tiongkok menembus $737,1 miliar pada 2018, di mana nilai ekspor dan impor AS beturut-turut: $179,3 miliar dan $557,9 miliar.[8] Berangkat dari perimbangan perdagangan tersebut dapat disimpulkan bila Amerika Serikat mengalami defisit $378,6 miliar. Secara lebih komprehensif, Tabel 1 berikut ini bertujuan memperlihatkan histori defisitnya perniagaan AS terhadap Tiongkok sehingga memicu ketegangan tensi politik di antara kedua negara.



Sejak rezim barak Obama pada 2009, perdagangan Amerika Serikat terhadap Tiongkok sudah menunjukan kerugian besar. Kerugian akibat hubungan dagang yang tidak seimbang membawa rentetan defisit yang relatif terus membengkak setiap tahunnya. Fenomena ini selanjutnya dimanfaatkan Trump sebagai alat kampanye bertajuk America First hingga mengantarkannya menjadi Presiden Amerika Serikat, mengalahkan Hillary Clinton. Wacana hubungan perdagangan bilateral yang tidak adil menjadi narasi utama yang mendorong agresivitas Amerika Serikat dalam melancarkan kebijakan containment berupa perang dagang, perang teknologi dan perang ideologi.

Perang Dagang

Perang dagang AS-Tiongkok merupakan akumulasi dari kebijakan-kebijakan domestik yang membatasi perdagangan bilateral hingga pada titik di mana salah satu pihak merasa dirugikan. Amerika Serikat menilai Tiongkok telah mempraktikan persaingan tidak sehat dengan strategi proteksionisme yang diejawantahkan melalui kebijakan dumping dan counterveiling measures. Dalam konteks perang dagang, dumping[9] ialah praktik Tiongkok yang menjual produk ke Amerika Serikat dengan harga di bawah nilai aslinya di dalam negeri, sehingga yang terjadi adalah pemangsaan terhadap produsen atau kompetitor internasional lainnya untuk kemudian mengontrol pangsa pasar. Bersamaan dengan kontrol terhadap pasar internasional, permainan countervailing measures oleh Tiongkok dilakukan dengan menaikan tarif terhadap produk impor dari Amerika Serikat yang sudah disubsidi dengan tujuan menyeragamkan harga barang impor dengan produk lokal di pasar domestik.


Perang dagang AS-Tiongkok mendapati momentumnya pada 6 Juli 2018 ketika Washington menetapkan pajak 25 persen pada 818 produk impor dari Beijing, kemudian dibalas Tiongkok dengan menerapkan tarif 25 persen 545 barang impor dari Amerika Serikat.[10] Upaya resiprokal menghasilkan produk kebijakan yang semakin mempertajam rivalitas dua kekuatan ekonomi dunia. Terbukti dari walaupun sudah mencapai kesepakatan pada pertemuan G20 di Osaka pada Mei-Juni 2019, Tiongkok dilaporkan berhenti membeli produk agrikultur AS, serta di pihak lain AS menuduh Tiongkok atas dugaan memanipulasi mata uang dengan tujuan mendapatkan keuntungan kompetitif (competitive advantage).[11] Fase-fase ketegangan kedua negara secara lebih lanjut dijabarkan Tabel 2.

Equilibrium rules oleh Kaplan di mana pada titik tertentu, peningkatan kekuatan negara lebih mengedepankan negosiasi ketimbang berperang terrefleksi ketika Fase 1 Perjanjian Perdagangan berakhir dengan kesepakatan menurunkan tarif AS terhadap barang-barang dari Tiongkok, yang selanjutnya diestimasikan mampu meningkatkan pembelian Beijing terhadap hasil pertanian, energi dan produk manufaktur Washington. Secara lebih lengkap, perjanjian tersebut membuahkan tiga hasil, yakni (1) pengurangan tarif, (2) persetujuan dari Tiongkok untuk membeli lebih banyak barang dan jasa dari AS dengan total $200 Miliar selama dua tahun mendatang dengan ganti AS menghapus Tiongkok dari daftar manipulator nilai mata uang, (3) perlindungan terhadap hak paten dan hak cipta, (4) serta terakhir penciptaan mekanisme penyelesaian sengketa melalui Bilateral Evaluation and Dispute Resolution Arrangement.[12]


Terlepas dari poin-poin kesepakatan Fase 1 Perjanjian Perdagangan, perang dagang sudah berdampak terlanjur berdampak terhadap kedua negara. Di sisi Amerika Serikat, dampak perang dagang sudah terasa pada sekstor ekspor, bisnis dan konsumsi. Ekspor kacang kedelai misalnya jatuh sampai hanya senilai $3,1 miliar pada 2018 – di tahun 2017 ekspor kacang kedelai mencapai $12,2 miliar – dan hanya meningkat ke angka $8 miliar pada 2019,[13] menyebabkan indeks permintaan ekspor baru bagi perusahaan-perusahaan AS jatuh 4,8 poin pada Juli 2019 atau terendah sejak April 2009.[14] Survei terbaru dari BizBuySell, perusahaan pasar daring, kenaikan tarif niaga dari Tiongkok menyebabkan kenaikan 37 persen dari biaya menjalankan usaha bagi usaha-usaha kecil di Amerika Serikat, yang mana membuat wiraswasta kehilangan 46 persen pelanggan.[15] Dampak buruk yang melanda sektor ekspor dan bisnis pada akhirnya bermuara pada pengaruh buruk kepada konsumsi, yakni bilamana menilik Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index, CPI) maka dapat menemukan kenaikan harga pasaran, sehingga secara rata-rata membuat orang AS harus mengeluarkan tambahan $650 kebutuhan rumah tangga per tahun.[16] Kenaikan biaya hidup ini selain memukul usaha-usaha makro, lebih dari pada ikut paling terasa di kalangan akar rumput karena tidak diikuti dengan kenaikan penghasilan. Pada titik inilah perang illegular tampak dari targetnya kepada ekonomi dan masyarakat sipil secara tidak langsung, bukan militer.


Berkenaan dengan Tiongkok, perang dagang tidak banyak memengaruhi ekonomi dengan empat alasan. Pertama, ekspor Tiongkok kepada Amerika Serikat hanya berkontribusi sebesar kurang dari 4 persen terhadap GDP.[17] Kedua, proyek One Belt One Road (OBOR) sudah membuat Tiongkok memiliki koneksi dengan pasar negara-negara lain khususnya di benua di Eropa, Asia dan Afrika. Ketiga, rata-rata pertumbuhan GDP Negeri Naga Merah ini masih melampaui target 6 persen per tahun, di mana mencapai 6,752 persen pada 2018 dan 6,1 pada 2019. Terakhir, permasalahan ekonomi Tiongkok utamanya disebabkan oleh rantai penawaran dan permintaan domestik, juga fenomena gelembung finansial akibat kenaikan harga tanah.

Perang Teknologi

Perang dagang tidak hanya terjadi atas alasan kerugian Amerika Serikat setelah melakukan hubungan ekspor-impor dengan Tiongkok, namun menurut hemat penulis, perlombaan mengejar dominasi pada bidang teknologi ikut berperan besar memengaruhi latar belakang eskalasi politik kedua negara. Amerika Serikat melihat Tiongkok sebagai ancaman karena: pertama, tuduhan bahwa rezim Beijing telah merampas teknologi mutakhir dan kekayaan intelektual dari AS; dan kedua menilik kekuataan Tiongkok saat ini, negara tersebut berpotensi untuk menjadi pemimpin industri teknologi di masa depan yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan kemajuan industri pertahanan domestiknya. Selanjutnya perang teknologi yang dimaksud (bagian dari perang illegural) dimulai dari publikasi Gedung Putih terkait temuan jika Beijing telah melancarkan praktik-praktik persaingan teknologi secara licik, bahkan ilegal berupa: pencurian fisik dan pencurian berbasis sibernetika terhadap teknologi dan kekayaan intelektual, aturan yang memaksa transfer teknologi dan transfer kekayaan intelektual, regulasi ekonomi yang koersif, panen informasi dalam skala besar, dan mensponsori perusahaan dalam negeri untuk mengakuisisi perusahaan teknologi AS.[18]

Tabel 3

Tuduhan AS Terkait Agresi Tiongkok di Bidang Teknologi dan Kekayaan Intelektual

Tuduhan-tuduhan AS yang dialamatkan kepada Tiongkok sebenarnya bukan tanpa dasar. Kebijakan Made in China 2025 bisa merepresentasikan kecemasan Washington bilamana melihat Beinjing secara sistematik mengintervensi pasar untuk memfasilitasi dominasi perusahaan-perusahaan lokal dalam rangka melawan kompetitor asing. Partai Komunis Tiongkok (PKT) menyasar industri high-technology guna menggantikan peranan luar negeri, dengan target menguasai 70 persen pasar lokal pada tahun 2025, memproduksi 40 persen chip telepon genggam dan menghasilkan 70 persen dari industri robot, serta memproduksi 80 persen peralatan energi terbarukan.[19] Merujuk pada kasus kebijakan Made in China 2025, dewasa ini Huawei merupakan perusahaan teknologi yang paling terdampak kontestasi Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).


Selain Amerika Serikat, beberapa negara telah ikut memberikan tekanan pada Huawei atau setidaknya sedang mempertimbangkan untuk mengambil langkah-langkah serupa. Kanada, Australia, Jepang, dan sejumlah negara anggota Uni Eropa sudah mengambil bagian dalam pelarangan produk Huawei, khususnya pada fitur 5G (generasi kelima jaringan internet nirkabel). Sebelum membahas faktor sekuritas dari teknologi Negeri Naga Merah, keberadaan Huawei sebagai bagian entitas bisnis RRT menjadi ancaman sebab Huawei dan perusahaan telekomunikasi Beijing lainnya telah memainkan peran aktif dalam perkembangan standar 5G dunia. Hingga saat ini Tiongkok diperkirakan memegang 10 persen hak paten industri yang esensial bagi teknologi 5G: akses radio (multiplexing, channel coding, dan peningkatan kecepatan data), modulasi (khususnya pada lapisan fisik), dan jaringan inti.[20]


Sampai penelitian ini dikerjakan, belum terdapat bukti konklusif yang mengarahkan kepada kerentanan teknologi Huawei, namun perusahaan tersebut telah berulang kali terlibat tudingan aktivitas mata-mata – seperti kasus Cisco 2003 dan kasus T-Mobile 2014. Pada kasus Cisco 2003, Huawei dituduh melakukan pencurian kekayaan intelektual dan spionase perusahaan dengan titik permasalahan bahwa Huawei meniru kode komputer router-nya dan menyalin nomor model Cisco untuk mempermudah pelanggan beralih ke versi Huawei yang lebih murah.[21] Adapun pada Juni 2012 sampai September 2014 Huawei diduga terus-menerus melakukan usaha mencuri informasi mengenai proyek robot T-Mobile bernama Tappy. Robot tersebut menjadi vital sebab berfungsi untuk menguji coba berbagai perangkat sebelum dipasarkan.[22] Merangkum fenomena yang telah dijabarkan dalam pusara perang teknologi AS-Tiongkok, penulis melihat bila pembatasan Huawei lebih dari sekedar persaingan modernisasi telekomunikasi, namun menyangkut isu agenda superioritas teknologi nasional, praktik spionase dan perebutan pengaruh, serta lingkup politik dan hukum dua negara.


Peneltian Sun Haiyong dalam jurnal China Quarterly of Internasional Strategic Studies sudah memberikan tiga poin gambaran mengenai konsekuensi dari perang teknologi antara AS dan Tiongkok.[23] Pertama, perang teknologi secara serius merusak hubungan keamanan Washington-Beijing ketika perlombaan mengejar teknologi paling muktahir dipandang sebagai permusuhan, khususnya oleh Presiden Trump. Donald Trump menjadikan tensi kedua negara sebagai justifikasi bagi Amerika Serikat untuk investasi pada bidang pertahanan dan pengembangan senjata, secara spesial di bidang siber dan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI). Pada Februari 2019, pemerintah AS mengeluarkan dua dokumen strategis yang mendesak percepatan pengembangan teknologi AI. Dokumen tersebut ialah executive order oleh Trump sendiri dan rangkuman strategi kementerian pertahanan tahun 2018 guna memanfaatkan AI bagi kesejahteraan dan kemajuan keamanan.[24]


Kedua, perang teknologi menjadi penghalang kerja sama ekonomi kedua negara, yang berimbas rantai industri dunia. Oleh karenanya, walaupun perang teknologi melawan Tiongkok akan berimbas kepada perkembangan perusahaan RRT dan kepada perekonomian domestiknya, hal ini juga akan berpengaruh kepada kenaikan biaya, kesulitan kontrol kualitas dan terhambatnya perluasan pasar perusahaan-perusahaan Amerika. Fenomena ini terjadi sebab tidak sedikit dari produk teknologi Tiongkok yang diekspor ke AS pada dasarnya merupakan perusahaan asal AS sendiri yang bertempat di Tiongkok. Di samping itu, dua per tiga ekspor RRT ke AS ialah barang setengah jadi dengan bahan dasar yang diimpor dari Jepang, Korea Selatan dan AS, sehingga sanksi Donald Trump kepada Xi Jinping pada akhirnya akan merusak rantai industri Asia Timur dan perusahaan asing lainnya di Tiongkok.[25]


Ketiga, perang teknologi akan mengecilkan prospek kerja sama pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di tengah kebutuhan dunia terhadap pembentukan norma dan aturan bersama dalam menghadapi distrupsi inovasi. Sebagai contoh, ketidakpastian perkembangan kecerdasan buatan dan ukuran yang belum jelas mengenai sejauh mana kemampuan AI dapat dipertanggungjawabkan berpotensi mengancam politik internasional, ekonomi dan keamanan. Seperti halnya revolusi industri pertama yang memungkinkan Napoleon Bonaparte berperang dengan membawa massa dalam jumlah besar, revolusi industri kedua yang menjadi katalisator perang dunia, dan revolusi industri ketiga yang menciptakan perang informasi di dunia maya atau dunia digital; maka proses menuju revolusi industri keempat penting untuk dikalkulasi secara matang, sebab batasan dunia fisik dan dunia maya menjadi buram. Kecerdasan buatan yang diterapkan pada mobil otomatis, drone, asisten virtual, dan lain sebagainya di lain pihak bisa mengancam perdamaian dan stabilitas bilamana dibajak oleh baik aktor negara maupun non-negara seperti organisiasi terorisme.

Perang Ideologi

Kekuatan atau power suatu negara tidak hanya bersumber dari kapabilitas militer dan modal ekonomi, seperti yang diutamakan pemikir-pemikir realisme. Kenyataan inilah yang kemudian mendorong negara-negara untuk mengejar bentuk kekuataan lain yang lebih halus, namun tetap mampu memengaruhi negara lain. Salah satu bentuk kekuataan yang dimaksud ialah ideologi. Ideologi – kepercayaan kolektif yang acap kali menjadi dasar dari setiap kebijakan aktor internasional – bisa menjadi mesin kepentingan negara bilamana ideologi yang sama dapat diterapkan kepada negara lain. Secara lebih kontekstual, dewasa ini AS menilai ideologi sosialisme dengan corak nasionalisme Tiongkok merupakan ancaman bagi ideologi liberalisme Barat. Hubungan kompetitif kedua negara ditegaskan Presiden Trump melalui US National Security Strategy (NSS) dengan melabeli RRT bersama Rusia sebagai antitesis dari kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai AS; dan lebih dari pada itu, terdapat sentimen bahwa Beijing berniat menggantikan Washington sebagai motor ekonomi dan tatanan regional.[26]


Rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok dapat dikatakan tertanam pada suatu kompetisi ideologi yang lebih luas, yang mana terdapat pengkotak-kotakan di antara label demokratisme Barat dan sistem otokratisme Tiongkok. Berdasarkan nosi inilah, nilai konfliktual ideologi kedua negara tidak bisa disamakan dengan pengulangan sejarah konfrontasi selama Perang Dingin. Ideologi tidak lagi digunakan sebagai alat penggerak dari konflik negara-negara adidaya, melainkan ideologi tersebut dimanfaatkan sebagai pembentuk identitas, sarana legitimasi kekuasaan dan kepanjangan tangan dari soft power (kekuatan non-konvensional seperti yang ditekankan pemikir realisme). Fakta tersebut selaras dengan kurangnya batasan nilai yang jelas, sebab secara politik dan ekonomi Tiongkok masih terintegrasi di dalam tatanan internasional yang terinspirasi dari sistem Bretton Woods. Adapun Beijing tidak pernah menawarkan sistem internasional yang berbeda dari status quo. Selain itu, bilamana melihat NSS, Presiden Trump tidak lagi menempatkan kewajiban utama AS sebagai pelindung liberalisme, namun sebagai pelindung kepentingan dalam negeri.[27]


Usaha Presiden Trump demi memenangkan perang ideologi berputar pada amplifikasi isu otoritarian Tiongkok. Penindasan Beijing terhadap Uighur, posisi Taiwan di tengah hegemoni RRT dan gelombang demonstrasi Hong Kong dipakai Washington sebagai amunisi untuk mendiskreditkan Beijing. Gedung Putih menerbitkan dokumen pendekatan strategis dengan menitikberatkan pada tiga isu kemanusiaan tersebut dengan isu sebagai berikut:[28]

1. Kebijakan Beijing di Xinjiang sejak 2017 telah menahan lebih dari satu juta penduduk Uighur dan anggota kelompok etnis dan agama minoritas di kemah-kemah indoktrinasi;

2. Kegagalan RRT untuk menghargai komitmen non-koersif terhadap Taiwan;

3. Tiongkok tidak bisa menerapkan Deklarasi Bersama Tiongkok-Inggris tahun 1984 untuk menghomrati otonomi, supremasi hukum, kebebasan berdemokrasi Hong Kong.

Merujuk pada target perang illegular, yaitu dampaknya terhadap legitimasi dari populasi, maka saat ini ketika perimbangan kekuatan dari AS dan RRT tidak mengalami ketimpangan yang signifikan, khususnya di bidang perdagangan dan teknologi. Manuver tensi politik Presiden Trump kepada Xi Jinping terbatas pada usaha menahan laju RRT dengan menerapkan saksi dan memperluas serangan terkait isu kemanusiaan di Xinjiang Uighur, Taiwan dan Hong Kong. Inilah yang menyebabkan perang dagang, perang teknologi dan perang ideologi Donald Trump kepada Xi Jinping belum memberikan dampak yang berarti. Berkenaan dengan kegagalan strategi AS guna merepresi perkembangan RRT, meledaknya pandemi COVID-19 kemudian berpotensi membawa babak baru bagi tensi politik di antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Amerika Serikat dan Tiongkok Pasca Pandemi COVID-19

Meskipun rivalitas AS dan RRT sempat terhenti pasca disepakatinya Fase 1 Perjanjian Perdagangan, kedua negara – khususnya Amerika Serikat – sudah terlanjur merasakan imbas perang dagang. Adapun kebijakan Donald Trump untuk mengekang manuver industri teknologi Tiongkok yang dituding melakukan pencurian terhadap kekayaan intelektual ikut meramaikan dampak buruk bagi hubungan diplomasi bilateral kedua negara yang sudah secara formal terjalin sejak 1979. Tatkala pertarungan dagang dan teknologi masih berlangsung, pertarungan ideologi yang terejawantahkan melalui narasi-narasi demokratisime Barat melawan otokratisme Tiongkok terhadap kasus kemanusian Uighur, Taiwan dan Hong Kong ikut memanaskan eskalasi tensi politik di antara dua negara besar ini.


Pada dasarnya hubungan Washington dan Beijing memang sudah mengalami pasang surut sepanjang sejarah. Mereka pernah berada pada fase permusuhan, fase pertemanan dan kembali pada fase permusuhan. Fase permusuhan tersebut nampak selama Perang Korea (1950-1953) yang mana merupakan bagian dari proses penting Perang Dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet. Fase pertemanan AS-RRT ditandai dengan pengesahan hubungan diplomatik kedua pihak pada 1979 di masa administrasi Jimmy Carter dan Deng Xiaoping dengan momentum pengakuan Paman Sam terhadap kedaulatan Tiongkok atas Taiwan. Selanjutnya, tensi politik AS-RRT selama presidensial Donald Trump dapat dikatakan berbeda dengan fase permusuhan sebelumnya. Permusuhan yang dimaksud saat ini bukan lagi bercorak ketimpangan kekuatan – adidaya AS melawan RRT sebagai negara yang baru merdeka pada saat itu, melainkan dipenuhi relasi rivalitas dikarenakan perimbangan kekuatan yang tidak jauh berbeda. Faktor inilah yang melatarbelakangi pelabelan AS kepada Tiongkok sebagai musuh strategis – bukan lagi sebagai musuh normal.


Krisis pandemi COVID-19 menjadi nosi penting yang akan kembali mendefinisikan hubungan Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok ke depannya. Penulis memiliki tiga pendapat mengenai masa depan tensi politik di antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok pasca pandemi. Pertama, dua negara akan saling menyerang secara hati-hati, sehingga tidak memutus ikatan inti dari diplomasi yang sudah terbangun sejak masa Presiden Jimmy Carter. Kedua, Tiongkok akan menjadi salah satu narasi utama dari propaganda selama kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat dan topik penting di ruang-ruang publik dalam konteks lokal yang membagi Amerika Serikat menjadi dua kutub besar. Di sisi lain, siapapun kandidatnya atau dari manapun partainya, sangat kecil kemungkinan untuk benar-benar mampu mengambil kebijakan containmet yang bipolar, seperti pada saat Perang Dingin. Ketiga, Henry Kissinger memprediksi bahwa pandemi ini akan selamanya mempengaruhi tatanan dunia,[29] dan beberapa orang bahkan mengartikan krisis COVID-19 akan mengubah globalisasi menjadi deglobalisasi; namun penulis melihat pandemi hanya akan meredefinisi konteks globalisasi, khususnya berkaitan dengan relasi kerja sama AS-RRT.

Menyerang Secara Hati-hati

Penulis berpendapat bahwa dampak pertama dari pandemi COVID-19 kepada tensi politik Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok ialah peningkatan eskalasi serangan dari dan kepada kedua belah pihak. Walaupun AS dan RRT sudah terikat dalam hubungan kompetitif alamiah sebelum kehadiran virus corona jenis baru ini, namun banyak ahli melihat fenomena sekarang sebagai awal dari “Perang Dingin” baru, terutama bila menilik status Tiongkok sebagai musuh strategis Amerika Serikat dewasa ini. Di sisi lain, gabungan antara tertutupnya informasi dari PKT mengenai sumber dan historis penyebaran virus corona; dan inkompetensi administrasi Donald Trump untuk memitigasi dampak pandemi, serta simpangsiurnya informasi, secara langsung bermuara pada suburnya permainan saling salah-menyalahkan (blaming game).

Jual beli serangan Washington dan Beijing diperkirakan akan menjadi lebih berbahaya dari sebelumnya. Kemungkinan ini menjadi patut untuk diperhatikan sebab pemilihan presiden sudah sangat dekat, yakni pada November mendatang. Mendukung nosi tersebut, Presiden Trump bahkan menggunakan frasa bernada rasis, yakni “Kung Flu” yang merujuk pada COVID-19 selama kampanye pemilihan umum di Tulsa.[30] Sementara itu pada kesempatan yang lain Zhao Lijian, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Partai Komunis Tiongkok, justru memberikan cuitan di Twitter mengenai kemungkinan militer AS yang membawa virus corona ke Wuhan dan memulai epidemi.[31]


Tindakan saling serang dengan menebar retorika-retorika politik – bahkan propaganda dengan memainkan sentimen liberalisme melawan otokratisme – menurut penulis tetap harus sesuai dengan koridor karena kedua negara saling membutuhkan, khusunya pada masa pandemi. Sebab pukulan telak terhadap perekonomian Amerika Serikat tak bisa serta merta diartikan sebagai kesempatan bagi Tiongkok untuk menyalip posisi Negeri Paman Sam. Seperti bila mengutip pernyataan Xi Jinping selama pertemuannya dengan Donald Trump di Osaka, Jepang pada 29 Juni 2019: “One basic fact remains unchanged: China and the United States both benefit from cooperation and lose in confrontation.”[32] Ditambah kenyataan jika perang dagang telah mengacaukan pasar keuangan dan meredupkan prospek pertumbuhan dunia.


Kehati-hatian saat melempar serangan jargon politik juga dapat dilandaskan pada nosi bahwa Donald Trump dan Xi Jinping sulit untuk mendapatkan pilihan lain, selain untuk bertahan dengan Fase 1 Perjanjian Perdagangan. Membatalkan perjanjian yang memakan waktu negosasi lebih dari dua tahun, terutama di saat pertumbuhan ekonomi AS dan dunia berada di angka negatif bahkan resesi adalah berbahaya. Para penstudi sejarah mendapati bahwa kerusakan ekonomi akibat pandemi dapat berdampak hingga 40 tahun; berbeda dengan kerusakan akibat perang dan bencana alam yang cenderung dapat diperbaiki secara cepat, seperti yang terjadi pasca Perang Dunia II.[33] Dampak pandemi yang berkepanjangan terjadi sebab wabah penyakit tidak langsung menyasar pada saham modal, namun menekan kuantitas konsumsi dikarenakan banyak konsumen yang akan melakukan penghematan selama masa ketidakpastian ekonomi. Faktor inilah yang bermusara pada keterputusan rantai ekonomi masif.

Tiongkok Sebagai Narasi Utama

Perbedaan mendasar pasca pandemi COVID-19 ialah bagaimana opini publik Amerika Serikat berubah dalam melihat Tiongkok. Opini inilah yang memengaruhi naik dan turunnya tensi politik, khususnya di saat-saat menjelang pemilihan umum kepresidenan. Sehingga satu hal yang menjadi keniscayaan: Tiongkok masih akan menjadi narasi utama bagi Amerika Serikat, baik dalam konteks pemilihan umum, maupun polarisasi di tengah masyarakat setelah pemungutan suara tersebut.


Dinamika politik Beijing dan Washington memang sudah sejak lama diprediksi akan mencapai puncak kontentasi, namun penyebaran virus corona berperan dalam mempercepat memanasnya tensi diplomasi bilateral Amerika Serikat dan Tiongkok. Sesuatu yang bahkan tidak diduga pada tahun sebelumnya. Perang dagang, perang teknologi dan perang ideologi yang kemudian disulut dengan kenyataan bahwa Wuhan merupakan episentrum COVID-19 telah mengantarkan RRT pada level baru, yakni tingkatan di mana relasi kedua negara menjadi hampir mustahil untuk bisa kembali seperti semula. Selanjutnya bila dikaitkan dengan pemilihan umum, Joe Biden memiliki tugas yang lebih berat untuk meyakinkan Amerika Serikat bila dirinya memiliki ketegasan sikap dalam menghadapi Republik Rakyat Tiongkok. Tugas berat yang dimaksud dilandaskan pada kurangnya keyakinan publik Amerika Serikat terhadap kebijakan luar negeri Biden, khususnya bila mengingat kedekatannya dengan Negeri Naga Merah.


Joe Biden memiliki sejarah panjang kedekatannya dengan RRT. Pada Juni 1998 ketika AS bersiap-siap untuk memberikan sanksi berupa larangan memberikan pinjaman lunak kenapa entitas RRT dan pembatasan visa pejabat RRT dan warga AS yang ingin menjalankan bisnis di RRT, Joe Biden tergabung dalam 10 senoator yang menentang sanksi tersebut.[34] Adapun selama menjabat sebagai Wakil Presiden Barrack Obama, kebijakan luar negeri Biden yaitu Pivot to Asia tidak benar-benar menyasar dan menahan laju agresivitas Tiongkok, berkaitan dengan kapabilitas militer dan kebangkitan ekonomi. Berbeda dengan catatan sikap Biden di masa lampau, saat ini seperti terdapat tren untuk terlihat tegas terhadap Tiongkok. Terbukti calon presiden dari partai biru tersebut dua kali memanggil Xi Jinping dengan sebutan thug berkaitan dengan kebijakan membangun kemah-kemah rekonstrukturasi jutaan etnis Uighur dan rezim otoritarianisme RRT terhadap Hong Kong selama debat internal Partai Demokrat di South Carolina.[35]


Presiden Trump dan posisinya yang keras terhadap Tiongkok sudah menjadi bagian dari kekuataanya dalam menyongsong pemilihan umum. Presiden AS ke-45 ini berhasil memanfaatkan prespektif buruk warga AS terhadap RRT dan sikap Biden yang terkesan lembut kepada Beijing, untuk kepentingan politik elektoralnya. Temuan Pew Research Institute menunjukan 66 persen orang Amerika Serikat memiliki pandangan negatif kepada Tiongkok, sekaligus menunjukan peningkatan signifikan, sebab pada 2017 sempat berada pada angka 47 persen.[36] Berangkat dari data tersebut, kampanye Trump secara total menggunakan sentimen anti Tiongkok, yakni menandatangani Undang-undang Otonomi Hong Kong pada 14 Juli 2020, mengirimkan armada militer di sekitar perairan Laut Tiongkok Selatan, dan memboikot teknologi dari perusahaan RRT, yakni Huawei, WeChat, serta jaringan 5G.


Melampaui praktik-praktik politik praktis saat kampanye pemilihan umum, masa depan tensi politik Amerika Serikat dan Tiongkok pasca pandemi COVID-19 masih akan terus memanas. Asumsi ini dibangun berdasarkan temuan yang sama dari Pew Research Institute bahwa isu RRT ternyata mampu menyatukan kepentingan Partai Republikan dan Partai Demokrat, sehingga bukan lagi perdebatan tentang pro atau kontra.[37] Terakhir, sampai belum adanya penyelesaian fundamental perihal efektivitas dan penerapan kelanjutan Fase 1 Perjanjian Perdagangan, maka Tiongkok masih akan menjadi narasi utama yang mengisi diskurus hubungan internasional kedua negara.


Di Ujung Deglobalisasi

Globalisasi secara sederhana dapat dipahami sebagai proses integrasi atau penyatuan dunia yang mana dapat berada pada level individu, bisnis dan pemerintahan. Berangkat dari berbagai elemen yang membentuk globalisasi, faktor hubungan ekonomi dapat menjadi indikator utara dari berjalan atau tidaknya globalisasi itu sendiri. Pengejawantahan dari keterbukaan atau di sisi lain ketertutupan negara-negara dalam memaknai perdagangan internasional selanjutnya akan menjadi bukti dari arah pertumbuhan dunia, apakah menuju globalisasi atau justru deglobalisasi. Gambar berikut akan merefleksikan bagaimana sejarah dunia dalam mengambil arah globalisasi berdasarkan indeks keterbukaan perdagangan global pada tahun 1870-2017.



Bilamana melihat dari perspektif keterbukaan perdagangan global, dunia setidaknya telah berada pada lima fase globalisasi. Kelima fase tersebut terbentang dari masa industrialisasi setelah ditemukannya mesin uap hingga masa redefinsi globalisasi atau deglobalisasi bagi beberapa cendekiawan hubungan internasional. Berdasarkan data pada Gambar 1 yang dihimpun oleh Our World Data dari beberapa sumber – World Bank, Penn World, dan Klasing dan Maddison – penulis dapat memberikan gambaran fase globalisasi dunia sebagai berikut: fase industrialisasi, fase perang besar, fase kebangkitan pasca perang, fase kemenangan liberalisme, dan terakhir merupakan fase globalisasi yang diredefenisi.


Periode pertama globalisasi dunia modern terjadi dari 1870 sampai 1914 dengan penemuan mesin uap, sehingga penulis sebut sebagai fase industrialisasi. Mesin uap diaplikasikan pada pabrik-pabrik besi dan baja dan mesin perkapalan. Percepatan laju industri dunia Barat memungkinkan produksi dan distribusi barang secara masif dan pergerakan manusia ke tempat-tempat yang sulit dijangkau pada masa sebelumnya. Pergerakan tersebut terejawantahkan menjadi penaklukan atau kolonialisme negara dan perusahaan Eropa terhadap Benua Afrika dan Asia.


Fase kedua ialah masa ketika globalisasi mengalami kemunduran signifikan dengan meledaknya Perang Dunia I pada 1914 dan dilanjutkan dengan perang besar selanjutnya – Perang Dunia II pada 1945. Perlawanan terhadap fasisme, pandemik flu Spanyol 1918, sentimen anti imigran, Great Depression 1929 dan efek lanjutan krisis terhadap tren proteksionisme di tahun 1930an ikut berkontribusi pada melemahnya integrasi negara-negara.[38] Globalisasi mengalami hantaman terparah, bahkan bila dibandingkan dengan awal periode industrialisasi mesin uap 1870.


Perbaikan ekonomi setelah Perang Dunia II berimbas langsung pada reintegrasi ekonomi global dengan pembentukan institusi-institusi internasional pada fase ketiga tahun 1945-1980. Amerika Serikat keluar sebagai pemenang berusaha untuk membawa dunia kepada perdamaian melalui keterkaitan kerja sama antarnegara. Institusi-institusi Bretton Woods, GATT dan PBB menjadikan globalisasi bertumbuh ke angka yang belum pernah dialami sejarah manusia sebelumnya.


Fenomena kebangkitan pasca perang besar diikuti dengan fase keempat globalisasi, yakni kemenangan liberalisme. Setelah Perang Dingin, keterbukaan ekonomi – yang menjadi indikator umum dalam memaknai globalisasi – mencapai masa kejayaan. Kekuatan finansial dan perniagaan tidak lagi hanya berpusat pada negara-negara pemenang perang, namun mulai terdiversifikasi ke belahan dunia lain. Asia Timur, Asia Tenggara dan India bangkit dan memainkan peran penting sebagai penggerak keterbukaan ekonomi dengan cara mengurangi hambatan-hambatan perdagangan dan membuka perdagangan bebas. Puncak dari liberalisme perdagangan ialah sebelum gelombang besar krisis keuangan 2008.


Lalu bagaimana dengan kondisi dunia saat ini? Penulis berpendapat bahwa proteksionisme kembali menjadi narasi besar yang menghalangi globalisasi – atau setidaknya globalisasi yang sudah dimaknai sejak 1870. Fenomena keinginan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa, terpilihnya Donald Trump akibat memainkan sentimen inward-looking yaitu America First, dan tujuan kebijakan Tiongkok untuk menjadi mandiri melalui target kebijakan Made in China 2025 menuntut globalisasi untuk diredefinsi. Sebab fase kelima, yakni deglobalisasi bukan lagi menjadi angan-angan, karena pertanyaan sesungguhnya ialah sejauh mana dunia akan mengalami deglobalisasi, khususnya di dalam konteks Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok pasca pandemi. Penulis berpendapat bahwa konsep globalisasi AS-RRT yang dimaknai secara ortodoks perlu didefinisikan ulang.


Globalisasi pasca krisis COVID-19 menjadi perlu dipahami ulang dikarenakan dua alasan. Pertama ialah tanda-tanda deglobalisasi sebenarnya sudah terjadi sebelum pandemi virus corona, terutama setelah kejatuhan investasi langsung sebesar 70 persen pada 2007-208 dikarenakan krisis finansial 2008.[39] Akan tetapi, COVID-19 mempercepat prosesnya dengan memberikan justifikasi bagi AS dan RRT untuk mempertimbangkan kembali hubungan diplomasi bilateral yang telah empat dekade terbentuk. Alasan kedua adalah penjelas justifikasi merdefinisi globalisasi baik di sisi Washington maupun Beijing. Globalisasi yang selama ini diidentikan dengan peningkatan efektifitas, saat ini ditantang oleh nosi resiliensi. Penulis berpendapat bahwa pasca pandemi selesai, Donald Trump dan Xi Jinping akan lebih mementingkan fakto resiliensi atau ketahanan ketimbang faktor efektifitas. Mengutip Mohamed El-Erian ketika memberi kelas di Universitas Pennsylvania “The globalization was all about efficiency. We are now entering a period that will be dominated by resiliency.”[40]


Pandemi telah membuktikan bagaimana Amerika Serikat sangat bergantung pada eskpor Tiongkok. Oleh karenanya, untuk menjawab sejauh mana akan terjadinya deglobalisasi AS-RRT, terlebih dahulu harus menjawab sejauh mana implementasi dari Fase 1 Perjanjian Perdagangan. Menggunakan kata lain, Fase 1 Perjanjian Perdagangan merupakan titik nol hubungan bilateral. Bila kedua pihak mampu menerapkan perjanjian tersebut, maka deglobalisasi atau decoupling cenderung dapat dihindari. Di lain pihak, tensi politik Amerika Serikat dan Tiongkok akan mengalami deglobalisasi serius, bilamana salah satu pihak merasa perjanjian perdagangan tidak benar-benar diterapkan secara serius.


Kesimpulan

Berangkat dari tujuan untuk memprediksi masa depan tensi politik Amerika Serikat dan Tiongkok pasca pandemi COVID-19, maka penulis berpendapat bahwa terlebih dahulu harus mengetahui dinamika tensi politik sebelum dan selama pandemi. AS dan RRT telah terlibat dalam konteks peperangan illegular selama setidaknya satu dekade terakhir. Adapun peperangan yang dimaksud ialah perang dagang, perang teknologi dan perang ideologi. Akumulasi dari konfrontasi dua negara besar tersebut selanjutnya mampu memberikan cerminan tensi politik setelah wabah virus corona. Penulis berargumen bahwa pasca pandemi COVID-19 yang akan terjadi ialah relasi saling menyerang secara hati-hati sehingga tidak benar-benar memutus hubungan diplomatik, penggunaaan Tiongkok sebagai narasi utama dalam propaganda AS, dan dorongan untuk meredefinisi konsep globalisasi di antara dua negara atau yang beberapa pemikir hubungan internasional sebut sebagai deglobalisasi.

 

Catatan Kaki


[1] White House. (2017). National Security Strategy of the United States of America. Washington, DC: White House. P 2 [2] United Nations. (2020). COVID-19: Growth forecast at -3 per cent, as IMF offers debt relief to most vulnerable nations in Africa, Asia, Middle East and Caribbean. UN News: https://news.un.org/en/story/2020/04/1061712, diakses pada 17 Juni 2020 [3] Tang, Frank. (2020). Coronavirus: Xi Jinping rings alarm on China economy as country shifts priority to maintaining growth. South China Morning Post: https://www.scmp.com/economy/china-economy/article/3052131/coronavirus-xi-jinping-rings-alarm-china-economy-country, diakses pada 17 Juni 2020 [4] Malden, Kaj & Stephens Suzanna. (2020). Cascading Economic Impacts of the COVID-19 Outbreak in China. Washington, DC: US-China Economic and Security Review Commission. P 9 [5] BBC. (2020). Coronavirus: US economy shrinks at fastest rate since 2008. BBC: https://www.bbc.com/news/business-52466864, diakses pada 18 Juni 2020 [6] Hudson, Valerie M. (2014). Foreign Policy Analysis: Classic and Contemporary Theory (Ed. 2). Maryland: Rowman & Littlefield. P 175 [7] US Air Force. (2013). Irregular Warfare: Air Force Doctrine Document 3-2. Washington, DC: US Air Force. P 2-3 [8] USTR. (n.d.) The People’s Republic of China. Office of the United States Trade Representative: https://ustr.gov/countries-regions/china-mongolia-taiwan/peoples-republic-china, diakses pada 25 Juni 2020 [9] Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization, WTO) tidak secara definitif melarang praktik dumping dikarenakan perbedaan pendapat negara-negara, namun Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade, GATT) tidak menyarankan praktik tersebut. [10] ISDP. (2020). Snapshot of the U.S.-China Trade War. Stockholm: Institute for Security and Development Policy. P 4 [11] Kapustina, Larisa., dkk. (2020). US-China Trade War: Causes and Outcomes. Bratislava: EDP Sciences. SHS Web Conf. Vol 73. P 4 [12] ISDP. (2020). Snapshot of the U.S.-China Trade War. Stockholm: Institute for Security and Development Policy. P 8 [13] Swanson, Ana & Alan Rappeport. (2020). Trump’s Trade Appeals to China Still Left Farmer Reeling. The New York Times: https://www.nytimes.com/2020/06/19/business/economy/trump-china-trade-war-farmers.html, diakses pada 16 Juli 2020 [14] Hiltzik, Michael. (2019). Colum: Trump is killing US manufacturing. Los Angeles Times: https://www.latimes.com/business/story/2019-09-03/hiltzik-trump-is-killing-us-manufacturing, diakses pada 16 Juli 2020 [15] Davis, Christopher West. (2019). Here’s what small businesses, slammed by China tariffs, are doing to minimize the impact of trade war. CNBC: https://www.cnbc.com/2019/10/05/us-china-trade-war-causing-small-biz-to-reinvent-customer-retention.html diakses pada 17 Juli 2020 [16] Rampulla, Ellie. (2020). The Effect of the US-China Trade War on US Exports. Wharton University of Pennsylvania: https://publicpolicy.wharton.upenn.edu/live/news/3218-the-effects-of-the-us-china-trade-war-on-us/for-students/blog/news#_edn26, diakses pada 17 Juli 2020 [17] Zhu, Zeyan., Yaotang Yang & Shuqi Feng. (2018). Trade War between China and US. Changzhou: Atlantis Press. ASSEHR, Vol 206. P 423-426 [18] The White House. (2018). How China’s Economic Agression Threatens the Technologies and Intellectual Porperty of the United States and the World. Washington, DC: White House Office of Trade and Manufacturing Policy [19] Wübbeke, Jost., Mirjam Meissner., dkk. (2016). Made in China 2025: The Making of a High-tech Superpower and Consequences for industrial countries. Berlin: Merics. P 7 [20] Sharma, Parv. (2018). 5G Ecosystem: Huawei’s Growing Role in 5G technology Standardization. Counterpoint Research: https://www.counterpointresearch.com/huaweis-role-5g-standardization/, diakses pada 18 Agustus 2020 [21] Newsweek. (2006). The Huawei Way. Newsweek: https://www.newsweek.com/huawei-way-108201, diakses pada 18 Agustus 2020 [22] Wamsley, Laurel. 2019. A Robot Named ‘Tappy’: Huawei Conspired to Steal T-Mobile’s Trade Secrets, Says DOJ. National Public Radio: https://www.npr.org/2019/01/29/689663720/a-robot-named-tappy-huawei-conspired-to-steal-t-mobile-s-trade-secrets-says-doj, diakses pada 18 Agustus 2020 [23] Haiyong, Sun. (2019). US-China Tech War: Impacts and Prospects. China Quarterly of International Strategic Studies Vol 5(2). P 197-212 [24] Executive order Presiden Donald J. Trump dapat diakses melalui https://www.whitehouse.gov/articles/accelerating-americas-leadership-in-artificial-intelligence/, sedangkan dokumen kementerian Pertahanan AS diakses melalui https://media.defense.gov/2019/Feb/12/2002088963/-1/-1/1/SUMMARY-OF-DOD-AI-STRATEGY.PDF [25] Haiyong, Sun. (2019). US-China Tech War: Impacts and Prospects. China Quarterly of International Strategic Studies Vol 5(2). P 206 [26] White House. (2017). National Security Strategy of the United States of America. Washington, DC: White House [27] Ibid. [28] White House. (n.d). United States Strategic Approach to the People’s Republic of China. White House: https://www.whitehouse.gov/wp-content/uploads/2020/05/U.S.-Strategic-Approach-to-The-Peoples-Republic-of-China-Report-5.20.20.pdf, diakses pada 28 Agustus 2020 [29] Kissinger, Henry. (2020.) The Coronavirus Pandemic Will Forever Alter the World Order. The Wall Street Journal: https://www.henryakissinger.com/articles/the-coronavirus-pandemic-will-forever-alter-the-world-order/, diakses pada 3 September 2020 [30] The Guardian. (2020). Donald Trump calls Covid-19 'kung flu' at Tulsa rally. The Guardian: https://www.theguardian.com/us-news/2020/jun/20/trump-covid-19-kung-flu-racist-language, diakses pada 10 September 2020 [31] Austin, Henry & Alexander Smith. (2020). Coronavirus: Chinese official suggests U.S. Army to blame for outbreak. NBC News: https://www.nbcnews.com/news/world/coronavirus-chinese-official-suggests-u-s-army-blame-outbreak-n1157826, diakses pada 10 September 2020 [32] Jinping, Xi. (2019). Xinhua Headlines: Xi, Trump agree to restart trade consultations, set tone for China-U.S. ties. Xinhua: http://www.xinhuanet.com/english/2019-06/29/c_138185032.htm, diakses pada 10 September 2020 [33] McNally, Christopher. (2020). US-China Economic Relations Under Pressure From COVID-19. Honolulu: East-West Center [34] Collinson, Elena. (2020). Joe Biden and China. New South Wales: The Australia-China Relations Institute. P 2 [35] CNB News. (2020). Read the full transcript of the South Carolina Democratic debate. CBS News: https://www.cbsnews.com/news/south-carolina-democratic-debate-full-transcript-text/, diakses pada 13 September 2020 [36] Devlin, Kat., Laura Silver., Christine Huang. (2020). U.S. Views of China Increasingly Negative Amid Coronavirus Outbreak. Washington, DC: Pew Research Institute. P 3 [37] Ibid. P 5 [38] Irwin, Douglas. (2020). The pandemic adds momentum to the deglobalization trend. Peterson Institute for International Economics: https://www.piie.com/blogs/realtime-economic-issues-watch/pandemic-adds-momentum-deglobalization-trend, diakses pada 19 September 2020. [39] Witt, Michael. (2020). Prepare for the U.S. and China to Decouple. Harvard Business Review: https://hbr.org/2020/06/prepare-for-the-u-s-and-china-to-decouple, diakses pada 19 Oktober 2020 [40] Ibid.

bottom of page