top of page

Orang Gila di Negeri Waras

Denztrial Celvin Kehi

Tak ada yang lebih gila dari pada berusaha waras di tengah kegilaan dunia. Pegawai-pegawai milenial rela menghabiskan jam-jam hidup membelah kemacetan Jakarta, hingga tangisan petani Sumba yang hampir gagal panen akibat hama belalang. Pada akhirnya, semua manusia hanyalah seonggok daging bernyawa yang sedang berjihad melawan jebakan depresi kehidupan hari lepas hari. Lalu mengapa harus tetap waras bila menjadi gila adalah keniscayaan?


Di perjalanan dari Kebayoran Lama menuju Salemba pikiran saya melayang dibuai menara-menara pencakar langit di kawasan SCBD. Ada perasaan yang ganjil saat melihat dalam-dalam kemegahan ciptaan manusia bersanding dengan bocah perempuan yang sedang bekerja memakai kostum Upin Ipin sembari berkeliling membawa wadah – tanda meminta belas kasihan pengendara bermotor yang berhenti di depan lampu merah. Bukankah kemegahan dan belas kasihan adalah dua roh yang terlalu gila bila berada dalam kota yang sama?


Dunia ini terlalu keras bagi si waras. Untuk itu saya berpikir kita harus terus merawat kegilaan agar bertahan waras. Melalui ungkapan lain, menormalisasi hal-hal gila adalah langkah pertama menjadi waras. Sebab manusia waras ialah mereka yang pernah gila. Telepon adalah hal gila sebelum Alexander Graham Bell, manusia terbang adalah gila sebelum Wright bersaudara, dan bersamamu adalah mimpi gila berbalut kenekatan (lah kenapa jadi gini? Tapi nangkap kan maksudnya? wkwkw).


Mau tahu yang lebih gila? pelamar kerja pemula ditolak karena kurang berpengalaman untuk pekerjaan entry level, sedangkan ia melamar justru untuk mencari pengalaman. Ruwet ruwet ruwet...


Satu lagi, jangan berharap apa-apa dari tulisan singkat dan aneh ini. Sebab jangankan waras, menjadi gila pun saya belum.


Comentarios


bottom of page